Tak Hanya Menyerang Manusia, TBC Juga Menyerang Hewan! Begini Cara Mengetahuinya

TBC menyerang hewan berdasarakan tahun 2009, dirinya pernah mengidentifikasi seekor orang utan yang mati di Kebun Binatang Ragunan akibat terinfeksi virus Mycobacterium tuberculosis

oleh Arie Nugraha diperbarui 16 Jul 2024, 22:00 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2024, 22:00 WIB
Ilustrasi Tuberkulosis
Perlu diketahui gejala utama pasien TBC paru, yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.

Liputan6.com, Bandung - Penyakit Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri yang dapat menyerang paru-paru dan organ lain.

TBC dapat menimbulkan gejala seperti batuk, dahak, demam, dan nyeri dada. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.

Penyakit ini merupakan penyakit dengan urutan ke–13 yang paling banyak menyebabkan kematian, dan menjadi penyakit menular nomor dua yang paling mematikan setelah COVID-19.

Menurut Peneliti Pusat Veteriner, Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORK-BRIN), Rahmat Setya Adji, ternyata tidak hanya dapat menyerang manusia, penyakit yang disebabkan virus tersebut juga dapat menginfeksi hewan, mayoritas sapi dan beberapa hewan mamalia lainnya, seperti rusa, anoa dan gajah.

"Untuk itu diperlukan surveillance guna identifikasi penyakit tuberculosis pada hewan ternak perlu dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit dan mengurangi kerugian ekonomi," sebut Rahmat pada Webinar Penyakit Zoonotik: Riset, Faktor Risiko, dan Pengendaliannya yang dihelat Pusat Riset Veteriner, ORK BRIN, ditulis Sabtu (13/7/2024).

Rahmat menuturkan TBC atau Tuberculosis menduduki posisi kedua penyakit infeksi secara global. Namun laporan ini hanya mencatat jumlah kasus yang menyerang manusia.

Indonesia berada di urutan ke–3 negara dengan kasus TBC tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Data tahun 2019 menunjukkan, ada sekitar 845 ribu penderita TBC di Indonesia.

Rahmat mengatakan diketahui TBC menyerang hewan berdasarakan tahun 2009, dirinya pernah mengidentifikasi seekor orang utan yang mati di Kebun Binatang Ragunan akibat terinfeksi virus Mycobacterium tuberculosis dengan metode kultul jaringan dan Polymerase Chain Reaction (PCR).

"Sementara itu, surveillance untuk mengidentifikasi jumlah hewan yang terinfeksi Tuberculosis dibeberapa tahun terakhir belum dilakukan lagi, survei terkahir dilakukan sebelum tahun 2010," ungkap Rahmat.

Meski surveillance belum dilakukan kembali, Rahmat berpendapat salah satu penyakit zoontik ini perlu menjadi prioritas pemerintah kedepan dan perlu diinisiasi pengajuan survelaince untuk hewan hidup.

Penanganan apa yang paling efektif untuk mengatasi penyakit tuberculosis pada hewan hidup dijelaskan Adji, saat ini terapi pengobatan hewan hidup yang terinfeksi dinilai tidak efektif dan efisien.

Pasalnya masa pengobatan yang cukup lama akan memakan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu, penanganan terbaik adalah perlu dilakukan potong bersyarat dan membuang organ paru-parunya.

"Tindakan potong ternak bersyarat dianggap paling efektif untuk menekan biaya. Sementara itu untuk melakukan pengujian hewan yang terinfeksi Tuberculosis dapat dilakukan dengan intra thermal test yang telah dikomersialisasikan," ucap Adji.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Riset Kesehatan ORK BRIN

Sementara itu, Kepala ORK BRIN) NLP. Indi Dharmayanti mengungkapan, sebagai organisasi yang memiliki otoritas dalam menjalankan riset di bidang kesehatan, ORK memastikan pelaksanaan riset dapat berjalan secara sistematis dan berhasil guna, sehingga diperlukan kolaborasi penelitian dan peningkatan informasi baik secara nasional maupun global.

"Saat ini riset mengenai zoonosis, meliputi karakterisasi,patogenesis, teknik deteksi, analisis faktor risiko hingga cara pengendalian sudah banyak dilakukan di Indonesia. Webinar tentunya akan menjadi wadah berbagi pengalaman dan memberikan informasi riset terbaru mengenai penyakit zoonotik dan pengendaliannya baik secara nasional maupun global, terutama terkait Rabies, dan tuberkulosis serta zoonosis lainnya di Indonesia," ucap Indi.

Sedangkan Kepala Pusat Riset Veteriner ORK BRIN, Harimurti Nuradji menambahkan saat tengah ditingkatkan pemahaman dan kesadaran terkait pengenalian penyakit zoonotik di Indonesia.

"Saat ini ORK telah melakukan inovasi dalam bentuk CARE-Hub, sebuah platform yang memungkinkan semua pihak dapat saling berkomunikasi dan berkolaborasi secara umum terkait riset dan secara khusus untuk penyakit zoonotic," jelas Harimurti.

Masalah penyakit zoonotic ini dibahas oleh lintas organisasi dalam dan luar negeri yang merupakan kolaborator Pusat Riset Veteriner, ORK BRIN termasuk diaspora atau periset global yakni Asfri Winaldi Rangkuti dari ASEAN Regional Support Unit Coordinator, FAO ECTAD Regional Asia and the Pacific, Thailand dan Rachel Tidman dari World Organisation for Animal Health, Paris. Hadir pula kolaborator nasional dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Pebi Purwo Suseno.

Kegiatan kolaborasi riset kesehatan baik secara nasional dan internasional ORK BRIN terkoordinasi melalui platform Health Research Collaboration Hub atau CARe-HUB yang dilakukan melalui Repositori Ilmiah Nasional yang terintegrasi secara nasional dengan sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penjelasan Kementerian Pertanian

Sedangkan penjelasan dari perwakilan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Pebi Purwo Suseno, dalam memutuskan penyakit zoonosis yang menjadi prioritas pemerintah digunakan tools untuk memastikan sumber daya untuk program pengendaliannya.

Menurut Pebi ada eksternalitas dan kategori lainnya yang perlu disusun untuk dibuat pemeringkatan dan disesuaikan dengan anggaran yang ada.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya