Liputan6.com, Yogyakarta - Target penerimaan pajak di tahun 2025 menjadi 2.189,3 triliun rupiah tentu tidak mudah karena beberapa kondisi saat ini. Ekonom UGM, Rijadh Djatu Winardi, melihat penerimaan pajak di tahun 2024 yang hanya mencapai target 97,25 dan ada beberapa kendala lainnya maka bisa menghambat pencapaian target tersebut. “Potensi penurunan daya beli masyarakat masih menjadi ancaman nyata bagi perekonomian negara. Jika daya beli masyarakat melemah, tentu akan berdampak pada konsumsi dan pada akhirnya mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor tersebut,” ungkapnya, Kamis (27/2/2025).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajibannya seperti ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya peningkatan penerimaan pajak. “Pemerintah perlu bekerja keras dan menerapkan strategi yang tepat untuk mencapai target tersebut,” jelasnya.
Advertisement
Baca Juga
Rijadh menilai ada beberapa faktor penghambat penerimaan pajak di awal tahun 2025 ini. Salah satunya sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) sebagai sistem perpajakan baru di Indonesia, ditengarai sebagai salah satu penghambat yang harus segera dicarikan solusi.
Rijadh menilai ide Coretax sangat baik, yaitu untuk memperbaiki tax gap dan manajemen basis data perpajakan yang ada di Indonesia, namun sayangnya sejak peluncuran masih banyak kendala dan keluhan yang disampaikan terkait sistem baru tersebut. Menurutnya, kapasitas dan arsitektur sistem Coretax belum didesain untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak. “Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar,” jelasnya.
Rijadh mencontohkan negara Singapura yang berhasil menggunakan sistem perpajakan MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang diluncurkan sejak 2007 silam yang tanpa kendala berarti. Sistem ini tentu lebih mature dan established, namun, menurutnya dengan adanya perbaikan, Coretax bisa menjadi sistem seperti MyTax IRAS yang aman dan memungkinkan personalisasi serta informatif. “Skala users yang berbeda antara Indonesia dan Singapura tentu tidak sama jika mau dibandingkan, sehingga jika sistem di Singapura bermasalah, ya bisa ditangani dengan cepat,” ujar Risjad.
Lebih lanjut Rijadh menyoroti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khawatir dapat berdampak pada inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Lain halnya dengan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang diterapkan untuk penghitungan Pajak Penghasilan 21 (PPh21) dengan tujuan untuk mempermudah dan menyederhanakan penghitungan pajak karyawan.
Rijadh beranggapan kemudahan perpajakan meskipun tidak menjadi penentu utama, diharapkan bisa mendorong kepatuhan pajak. Ia menambahkan, walaupun saat ini masih terlalu dini untuk menilai dampak penurunan penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional, namun tetap saja jika target penerimaan berkurang secara signifikan tentu akan berdampak pada perekonomian nasional. “Secara umum yang mungkin terjadi adalah penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang kian melebar sehingga memaksa pemerintah untuk meningkatkan rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat menurun, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” katanya.
Rijadh memberikan opsi solusi sumber penerimaan pajak alternatif yang dapat dijajaki oleh pemerintah. Pertama adalah pajak kekayaan yang dikenakan pada nilai aset kekayaan seseorang. Besaran tarif pajak kekayaan umumnya di bawah angka 3,5% pada beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan tersebut.
Kedua untuk penerimaan pajak bisa dilakukan pada pajak produksi batu bara yang bisa dihitung berdasarkan volume produksi batu bara yang dihasilkan. Ketiga adalah windfall tax atau pajak yang dikenakan pada keuntungan tidak terduga (windfall profit) yang diperoleh perusahaan atau individu dari kenaikan harga komoditas secara signifikan. Sebagai contoh Inggris mengenakan pajak windfall sebesar 25% pada perusahaan minyak dan gas pada tahun 2022 karena harga bahan bakar yang melonjak tinggi. “Tentunya semua alternatif ini tetap memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” paparnya.
Target penerimaan pajak 2025 terbilang berat dan berisiko tidak tercapai namun, Rijadh mengajak masyarakat, terutama pengamat ekonomi untuk tetap optimis. Pemerintah tentu telah mempertimbangkan berbagai strategi untuk mencapai target penerimaan pajak, antara lain melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta upaya perbaikan administrasi perpajakan. “Penting juga bagi kita semua untuk memberikan dukungan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Dengan penerimaan pajak yang kuat, pemerintah dapat memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan program-program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.