Dekke Naniura, Warisan Kuliner Tradisional Batak Sarat Makna dan Rasa

Ikan yang digunakan dalam Dekke Naniura umumnya adalah ikan mas, yang oleh masyarakat Batak dianggap sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran

oleh Panji Prayitno Diperbarui 14 Apr 2025, 15:00 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2025, 15:00 WIB
Dekke Naniura, Warisan Kuliner Tradisional Batak Sarat Makna dan Rasa
Sajian pepes ikan mas. (Liputan6.com/IG/debbie_ariesthea)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Dekke Naniura adalah salah satu kuliner tradisional Batak yang berasal dari wilayah Tapanuli, khususnya dari komunitas Batak Toba yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.

Hidangan ini bukan sekadar makanan biasa, tetapi juga merupakan simbol budaya, identitas, dan spiritualitas masyarakat Batak. Nama Dekke berarti ikan, sedangkan Naniura dapat diartikan sebagai yang tidak dimasak dengan api atau yang diasamkan.

Dekke Naniura sejatinya adalah sajian ikan mentah yang diolah dengan bumbu dan asam khas hingga matang secara alami tanpa melalui proses pemanasan atau dimasak menggunakan api.

Proses fermentasi atau marinasi dengan menggunakan asam dari buah jungga (sejenis jeruk purut khas Tapanuli) membuat tekstur ikan menjadi lembut, menyerupai sashimi atau ceviche, namun dengan cita rasa dan keunikan lokal yang begitu khas.

Dalam budaya Batak, Dekke Naniura dahulu bukan sembarang makanan yang bisa dinikmati kapan saja. Ia disajikan hanya dalam upacara adat penting seperti mangulosi (pemberian ulos), pesta pernikahan, ataupun saat mengadakan hajatan besar sebagai lambang penghormatan dan doa berkat kepada penerima makanan tersebut.

Ikan yang digunakan dalam Dekke Naniura umumnya adalah ikan mas, yang oleh masyarakat Batak dianggap sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Ikan mas dipilih karena mudah didapat di sekitar Danau Toba, selain itu dagingnya yang tebal dan lembut sangat cocok untuk diolah tanpa dimasak.

Dalam proses pembuatannya, ikan terlebih dahulu dibersihkan dan difilet, lalu dibalur dengan air perasan asam jungga untuk mematangkan secara alami. Setelah itu, daging ikan direndam dengan bumbu khas Batak yang disebut andaliman—rempah dengan rasa pedas getir yang menjadi ciri khas masakan Sumatera Utara—ditambah bawang putih, bawang merah, kemiri, kunyit, jahe, serta daun rias atau kecombrang yang ditumbuk halus.

Campuran bumbu ini kemudian dilumuri ke seluruh permukaan ikan dan dibiarkan selama beberapa jam agar bumbu meresap dan memasak daging. Hasil akhirnya adalah sajian dengan rasa yang kompleks seperti asam, pedas, segar, dengan aroma khas yang menggoda, serta tekstur daging ikan yang empuk dan lezat.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Warisan Leluhur

Keunikan rasa Dekke Naniura sangat bergantung pada kesegaran ikan dan keseimbangan bumbu. Tidak semua orang bisa membuat Dekke Naniura dengan baik, karena membutuhkan keterampilan dan intuisi dalam meracik bumbu serta menentukan waktu yang tepat agar ikan matang sempurna.

Dalam konteks budaya Batak, makanan ini memiliki makna yang jauh lebih dalam. Saat disajikan dalam adat, Dekke Naniura tidak hanya menunjukkan keramahtamahan tuan rumah, tetapi juga menjadi media komunikasi simbolik yang menyampaikan harapan akan keselamatan, kemakmuran, dan keharmonisan hidup.

Karena maknanya yang tinggi, dahulu hanya orang-orang tertentu yang bisa menghidangkan atau menerima Dekke Naniura, misalnya raja adat, tokoh masyarakat, atau tamu kehormatan dalam pesta adat Batak.

Sayangnya, seiring perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup, popularitas Dekke Naniura sempat meredup. Banyak generasi muda Batak yang mulai melupakan atau bahkan tidak pernah mencicipi hidangan ini.

Tantangan utama yang dihadapi adalah anggapan bahwa makanan mentah kurang higienis dan tidak cocok dengan selera modern. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, upaya pelestarian dan promosi kuliner lokal kembali digalakkan oleh berbagai pihak, termasuk komunitas adat, pegiat kuliner, hingga pemerintah daerah.

Festival kuliner Batak, promosi pariwisata Danau Toba, dan peran media sosial telah membantu mengembalikan ketertarikan terhadap makanan tradisional ini. Beberapa restoran khas Batak kini kembali menyajikan Dekke Naniura, bahkan dengan inovasi penyajian modern tanpa menghilangkan keaslian rasa.

Dekke Naniura juga mulai dilirik oleh kalangan pecinta kuliner nusantara maupun mancanegara, terutama mereka yang tertarik pada makanan fermentasi atau raw food. Kandungan nutrisinya yang tinggi, karena tidak melalui proses pemanasan, menjadikannya alternatif sehat bagi mereka yang mencari makanan alami.

Di sisi lain, aroma andaliman dan cita rasa eksotis dari bumbu rias membuat pengalaman menyantap Dekke Naniura menjadi sesuatu yang unik dan tak terlupakan. Makanan ini juga menjadi representasi dari filosofi hidup masyarakat Batak yang menghargai alam, kesederhanaan, dan kekayaan rasa.

Dalam setiap gigitannya, Dekke Naniura tidak hanya menghadirkan rasa, tetapi juga sejarah, warisan budaya, dan cerita panjang dari peradaban di tepian Danau Toba.

Pelestarian Dekke Naniura tidak bisa hanya diserahkan pada satu pihak saja. Diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat Batak, mulai dari orang tua yang mewariskan resep, para juru masak yang menjaga keaslian proses, hingga generasi muda yang bersedia belajar dan mencintai kembali warisan leluhurnya. Pendidikan budaya sejak dini, dokumentasi resep secara digital, serta dukungan dari pemerintah dalam bentuk pelatihan, festival, maupun pengakuan resmi terhadap kekayaan kuliner tradisional menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa Dekke Naniura tetap hidup dan berkembang.

Lebih dari itu, mengenalkan makanan ini ke kancah nasional bahkan internasional bisa menjadi sarana yang efektif untuk membangun citra Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan khazanah kuliner. Dalam konteks ini, Dekke Naniura bukan hanya milik Batak, tetapi juga bagian dari identitas kuliner Indonesia yang layak dibanggakan.

Makanan bukan hanya soal perut kenyang, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dekke Naniura adalah bukti bahwa warisan leluhur dapat tetap relevan jika kita menjaganya dengan cinta, bangga menyajikannya, dan terus menceritakan kisah di baliknya kepada generasi berikutnya.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya