Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan tak terlalu khawatir akan dampak krisis Yunani ke pasar modal Indonesia. Menurut dia, sentimen bursa saham China yang terus tertekan harusnya patut diwaspadai. Hal itu mengingat indeks saham China menurun sebanyak 30 persen akan berdampak ke Indonesia.
"Tidak bisa dibilang hanya Yunani, ekonomi kita gerak. Tapi lihat China turun 30 persen. Buat saya dampak China sebagai emerging market terbesar lebih menakutkan buat saya," kata dia di Jakarta, Selasa (7/7/2015).
Dia menuturkan, hal tersebut bisa diantisipasi apabila belanja modal pemerintah segera terealisasi. Hal itu dapat membuat bisnis terus bergairah.
Advertisement
"Saya cuma ingin pemerintah tetap belanja, infrastruktur tetap dibangun. Bank tetap memberikan kredit, roda ekonomi tetap jalan," ujar Tito.
Namun begitu, pihaknya menuturkan sedang menunggu beberapa momen yang diharapkan dapat menjadi pendorong indeks saham. Di antaranya, momen puasa dan Lebaran. Kemudian pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diharapkan membuat investasi bergerak masuk. Selain itu, Tito juga berharap pemerintah mendorong perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatatkan sahamnya di BEI.
"Kalau pemerintah bantu privatisasi dan perusahaan besar tercatat ada lagi permintaan rupiah masuk, " tandas dia.
Meski indeks saham China turun 30 persen dalam tiga minggu terakhir. Kinerja pertumbuhan indeks saham China masih menghasilkan pertumbuhan yang baik. Berdasarkan data BEI, kinerja indeks saham China naik 16,73 persen ke level 3.775,91. Sementara itu, indeks saham Hong Kong menguat 6,91 persen ke level 25.236,28.
Patut diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menegaskan, kegagalan Yunani membayar utangnya kepada IMF pada 30 Juni 2015 tidak akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia.
"Imbasnya hanya terjadi gejolak di pasar uang, saham dan Surat Utang Negara (SUN)," ujar Bambang.
Bambang mengatakan, ada risiko bagi Yunani jika keluar dari Uni Eropa. Salah satunya adalah kesulitan memperoleh sumber pembiayaan karena pengalaman gagal bayar utang.
"Mereka (Yunani) masih punya utang. Kalau keluar, mereka tidak perlu cetak mata uang baru dan mereka akan kesulitan mendapat sumber pembiayaan karena tidak ada lagi yang mau minjamkan. Mereka tidak mau bayar ke IMF, Bank Sentral Eropa (ECB), jadi agak sulit, dilema, keduanya tidak enak buat mereka," tandas dia. (Amd/Ahm)