Waspadai Kejatuhan Bursa Saham China

Kejatuhan bursa saham China dipicu dari penggunaan fasilitas marjin untuk transaksi saham dan kekhawatiran ekonomi melambat.

oleh Agustina Melani diperbarui 07 Jul 2015, 17:26 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2015, 17:26 WIB
Ekonomi China 2
China | Foto: The China Times

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham China sempat bergerak perkasa di awal 2015. Penguatan bursa saham itu didukung dari indeks saham Shanghai, Hong Kong dan, Shenzhen. Selama lima bulan, indeks saham China sempat tumbuh 100 persen.

Akan tetapi, kekhawatiran terhadap bursa saham alami bubble dan investor yang menggunakan utang untuk bertransaksi saham telah menyeret bursa saham China jatuh.

Awal pekan ini, bursa saham global termasuk Asia alami koreksi lantaran hasil referendum Yunani pada 5 Juli menolak syarat yang diajukan kreditor internasional soal dana talangan.  Indeks saham Jepang Nikkei pun merosot 1,3 persen. Diikuti indeks saham Australia melemah 1,2 persen. Alih-alih fokus terhadap situasi Yunani, pelaku pasar semestinya juga mewaspadai China.

Bursa saham China terutama indeks saham Shanghai dan Shezhen turun 30 persen dari level tertingginya dalam tiga minggu terakhir. Hal itu dipicu dari kekhawatiran terhadap bursa saham China alami bubble.

Pemerintah China pun mengambil langkah-langkah menyelamatkan bursa saham agar tak semakin terpuruk. Akan tetapi itu dapat menjadi bumerang.
Otoritas menyatakan, pihaknya akan menyuntikkan modal untuk memberikan pinjaman. Hal ini agar mendongkrak pembelian saham.

Pada akhir pekan lalu, 21 perusahaan sekuritas terbesar China mengatakan akan mengeluarkan dana sekitar US$ 19,3 miliar atau 120 miliar yuan untuk mencoba menstabilkan pasar saham. Perusahaan ini sebenarnya akan membeli saham yang menjadi portofolionya. Perusahaan sekuritas ini akan terus membeli saham sepanjang indeks saham Shanghai di bawah 4.500.

Namun sejumlah analis menilai, lonjakan bursa saham China sebagian disebabkan dari sejumlah investor menggunakan utang untuk berinvestasi di saham.
Jadi saat indeks saham jatuh pada Juni 2015, banyak para investor harus cepat menjual sahamnya agar dapat kembali membayar pinjaman. Hal itu memicu penurunan tajam di pasar modal. Indeks saham itu dapat kembali jatuh lebih buruk seiring investor menyadari kalau perlambatan ekonomi China menekan kinerja perusahaan.

"Bubble bursa saham China tidak didukung oleh fundamental. Sebaliknya pasar saham sedang diangkat terus oleh pinjaman pemerintah dan manipulasi," kata Michael Pento, Pendiri Pento Portfolio Strategies, seperti dikutip dari laman CNN Money, Selasa (7/7/2015).

Lei Mao, asisten profesor keuangan di Warwick Business School Inggris mengkhawatirkan kalau pemerintah dapat meningkatkan nilai perusahaan lebih besar dengan mengorbankan banyak perusahaan kecil. Karena itu, bursa saham Shanghai yang sebagian besar berisi perusahaan-perusahaan besar tidak naik lebih dari 2 persen. Namun bursa saham Shenzhen jatuh hampir 3 persen pada awal pekan ini.

"Distorsi di pasar saat ini membuat aliran dana signifikan untuk perusahaan milik negara besar," kata Mao.

Lalu mengapa China kini harus menjadi perhatian? Mengutip laman CNN Money, bursa saham jatuh sebagai salah satu tanda ekonomi dalam kekacauan. Hal ini terjadi pada 2008 dan 2000.

Apalagi China merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Eropa dan Amerika Serikat. Kalau ekonomi China sehat maka ini berita baik bagi negara maju.
Ekonom Royal Bank of Scotland menunjukkan kalau bank-bank AS memiliki hampir sepuluh kali lipat eksposur ke China ketimbang Yunani. Karena itu, bila bursa saham China terus melemah maka berdampak terhadap Asia.

"Sentimen China akan berdampak ke wilayah Asia dan lainnya bila China tidak dapat menghentikan bursa sahamnya yang terus tertekan," kata Direktur Riset Forex.com Kathleen Brooks.

Dampaknya ke Indonesia

Saat ini China juga sebagai konsumen komoditas terbesar di dunia. Hal ini berdampak terhadap Indonesia. China menjadi tujuan ekspor utama Indonesia. Tekanan terjadi di pasar komoditas Indonesia terutama batu bara terkait ekonomi China.

Dalam riset PT Henan Putihrai menyebutkan, selama ekonomi China booming maka produsen batu bara dapat menikmati keuntungan marjin yang besar karena permintaan menarik dari China.

Akan tetapi, setelah China melewati puncak untuk pembangunan negaranya, ditambah sumber alternatif energi Amerika Serikat (AS), harga minyak dan batu bara. Akibatnya sejumlah perusahaan tambang Indonesia tutup lantaran perlambatan perusahaan karena utang bank.

"Melihat situasi China sekarang, kami masih percaya kenaikan di sektor batu bara sangat terbatas untuk jangka pendek," tulis riset PT Henan Putihrai. (Ahm/Igw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya