Bursa Saham Asia Bervariasi Setelah Indeks S&P 500 Tergelincir

Bursa saham Asia Pasifik bervariasi pada perdagangan Kamis, 24 Juni 2021 mengekor bursa saham Amerika Serikat atau wall street.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 24 Jun 2021, 08:49 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2021, 08:48 WIB
Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik bervariasi pada perdagangan Kamis pagi (24/6/2021) mengikuti bursa saham Amerika Serikat atau wall street yang beragam dengan indeks S&P 500 melemah.

Di Jepang, indeks Nikkei melemah 0,23 persen, dan indeks Topix merosot 0,19 persen. Indeks Korea Selatan Kospi naik 0,14 persen. Sementara itu, indeks saham Australia cenderung mendatar. Indeks saham MSCI Asia Pasifik di luar Jepang naik 0,08 persen.

Di wall street, indeks S&P 500 melemah 0,11 persen menjadi 4.241,84. Indeks Dow Jones merosot 71,34 poin ke posisi 33.945,59. Indeks Nasdaq bertambah 0,13 persen ke posisi 14.271,73. Demikian dilansir dari CNBC, Kamis (24/6/2021).

Indeks dolar AS berada di posisi 91,796. Yen Jepang diperdagangkan di kisaran USD 111,02. Harga minyak menguat pada jam perdagangan di Asia. Harga minyak Brent berjangka naik 0,23 persen menjadi USD 75,36 per barel. Harga minyak berjangka AS menguat 0,19 persen menjadi USD 73,22 per barel.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Wall Street Beragam pada 23 Juni 2021

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)
(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Sebelumnya, bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street bervariasi pada perdagangan Rabu, 23 Juni 2021. Indeks S&P 500 menghapus kenaikan moderat sebelumnya dan ditutup di zona merah seiring pasar mengambil jeda.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks S&P 500 turun 0,1 persen menjadi 4.241,84 pada hari pertama, setelah sentuh posisi tertinggi sepanjang masa. Indeks Dow Jones merosot 71,34 poin atau 0,2 persen menjadi 33.874,24. Indeks Nasdaq naik 0,1 persen ke posisi 14.271,73, dan menambah rekor penutupan tertinggi lainnya.

Sektor utilitas S&P 500 memimpin penurunan sebesar 1,1 persen. Sementara sektor bahan pokok dan konsumen mencatat penurunan moderat. Saham sektor energi seperti Exxon mobil naik seiring kenaikan harga minyak. Harga minyak mentah Brent mencapai USD 75 per barel. Saham Occidental Petroleum melonjak lebih dari tiga persen, sementara saham Devon Energy naik hampir dua persen.

Sektor saham teknologi juga menguat. Saham Tesla melonjak hampir 5,3 persen, saham Netflix naik 0,8 persen. Saham Facebook juga naik 0,5 persen. Meski turun, indeks S&P 500 telah naik 1,8 persen pada pekan ini setelah alami aksi jual pada pekan lalu yang dipicu perubahan kebijakan the Federal Reserve yang mengejutkan.

Bank sentral memproyeksikan inflasi jauh lebih tinggi pada 2021, dan mengisyaratkan dua kenaikan suku bunga setelah 2023.

Sepanjang Juni 2021, indeks S&P 500 dan Nasdaq berada di zona hijau, masing-masing naik 0,9 persen dan 3,8 persen. Namun, indeks Dow Jones berada di zona merah untuk bulan ini di tengah pelemahan Caterpillar dan JPMorgan.

“Saham menghadapi pengaturan penuh pada baban kedua. Risiko pengetatan kebijakan moneter tampaknya tumbuh seiring dengan ketidakpastian kepemimpinan pasar, lintasan pemulihan ekonomi dan keberlanjutan inflasi,” ujar Chief Market Technician Piper Sandler, Craig Johnson, dilansir dari CNBC.

Ia menambahkan, latar belakang ini kemungkinan akan menciptakan beberapa kurva volatilitas tetapi tidak menyerang kenaikan pasar saham.

Ketua the Federal Reserve Jerome Powell bersaksi di depan panel khusus DPR pada Selasa pekan ini yang tampaknya mengangkat sentimen ketika ia kembali menegaskan tekanan inflasi akan bersifat sementara.

Powell menuturkan, tiket pesawat, harga hotel, dengan permintaan konsumen yang umumnya melonjak memompa ekonomi pada tahun lalu menghadapi pembatasan subtansial yang diberlakukan pemerintah pada awal pandemi COVID-19. Faktor-faktor itu harus diselesaikan sendiri dalam beberapa bulan mendatang.

“Mereka tidak berbicara tentang ekonomi yang ketat secara luas dan hal-hal yang menyebabkan inflasi lebih tinggi dari waktu ke waktu,” ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya