Liputan6.com, Jakarta - Sejalan dengan road map atau peta jalan 2021-2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji insentif dan disinsentif untuk sektor hijau. Tidak hanya untuk perbankan, tetapi juga non-bank termasuk pasar modal.
"Ini juga akan terjadi di lembaga keuangan non-bank dan juga akan terjadi di pasar modal. Apa insentif dan disintensif lebih lanjutnya masih dalam penggodokan, tentunya selama seluruh pemangku kepentingan setuju tentang taksonomi hijau ini akan lebih mudah untuk mempunyai bahasa yang sama, mana yang kategori hijau dan non-hijau," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam CEO Networking (CEON) 2021, Selasa (16/11/2021).
Langkah tersebut menyusul isu global mengenai isu perubahan iklim. Sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement dan dituangkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Advertisement
Baca Juga
"Kita telah berpikir ini jauh sebelum itu. Bahkan kita mempunyai road map berkelanjutan yang tahap pertama, di mana 2021 dan ini sekarang kita mempunyai road map yang kedua yaitu 2021-2021,” kata Wimboh.
Pertama, OJK telah mengeluarkan berbagai instrumen. Di antaranya meliputi green bond, sukuk, bahkan mensyaratkan seluruh industri keuangan untuk transparan mengenai agenda keuangan berkelanjutan.
"Indonesia 2021-2025 ini agenda utamanya adalah bagaimana kita memahami taksonomi hijau. sektor hulu hilir mana yang kategorinya adalah green, yang kita lakukan oleh OJK nanti akan memberikan insentif dan disinsentif untuk sektor-sektor yang tergolong green, dna memberikan disintensif untuk sektor yang non-green," ujar Wimboh.
Sebagai contoh, Wimboh mengatakan, OJK sudah mengeluarkan kebijakan kredit yang dipergunakan untuk membeli kendaraan electrik, diberikan ATMR lebih rendah pada 2021. Pada normalnya diberikan 75 persen, tapi untuk pembelian electrlk vehicle diberikan ATMR 50 persen. "Jadi lebih rendah dari yang biasa sekitar 25 persen,” kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Emiten Wajib Sampaikan Laporan Berkelanjutan
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat peningkatan investasi berkelanjutan di pasar modal Indonesia. Hingga akhir 2020, BEI mencatat total dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) mencapai Rp 3,06 triliun. Sementara hingga semester I 2021, total dana kelolaan sudah mencapai Rp 2,54 triliun.
Pada saat bersamaan, peningkatan juga terjadi pada aset yang underline-nya adalah emiten dengan praktik ESG yang baik. Jumlah reksa dana dan ETF yang underline nya adalah indeks berbasis emiten ESG, juga meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir.
"Saat ini tidak kurang ada 15 pilihan reksa dana dan ETF dengan asset under management yang bahkan di akhir tahun lalu sempat melampaui angka Rp 3 triliun," kata Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi dalam Emiten Expose 2021 - Prospek Cerah Emiten Peduli ESG, Selasa, 27 Juli 2021.
Hasan menuturkan, hal itu merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang pelaksanaan kewajiban laporan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik (POJK Keuangan Berkelanjutan).
"Indonesia cukup beruntung karena OJK kita menjadi salah satu otoritas dari sedikit otoritas yang memilih untuk mewajibkan pengungkapan laporan berkelanjutan kepada para pelaku di industri jasa keuangan," kata dia.
Dengan ada beleid itu, semakin banyak emiten yang akan mengungkapkan laporan keberlanjutan. Untuk kewajiban pada 2019 yang dilaporkan pada 2020, ada sebanyak 54 emiten. Namun, pada 2021, bertambah signifikan menjadi 135 emiten telah mengungkapkan laporan keberlanjutannya.
"Di 2019 yang laporannya di 2020, itu ada 54 saja emiten yang baru menerbitkan laporan berkelanjutan. Tapi tahun ini kita mencatat kenaikan lebih dari 150 persen di mana sudah 135 emiten yang sudah memenuhi kewajiban pelaporan berkelanjutan ini,” ungkap Hasan.
Advertisement
Delapan Prinsip
Adapun laporan ini memiliki delapan prinsip. Pertama, investasi bertanggung jawab, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup, tata kelola. Kemudian komunikasi yang informatif, inklusif, pengembangan sektor unggulan prioritas, serta koordinasi dan kolaborasi.
"Laporan ini memiliki guidance yang cukup baik dengan 8 prinsip yang di ke depankan. Sehingga masing-masing tentu harus melakukan pengungkapan atas 8 prinsip dan faktor-faktor yang terkait di dalamnya,” kata Hasan.
Penerapan laporan berkelanjutan untuk perusahaan tercatat di Bursa dilakukan secara bertahap. Hasan menuturkan, untuk bank besar, BUKU 4, BUKU 4 dan Bank Asing kewajibannya sudah dilakukan di 2019. Sehingga laporannya sudah terbit 2020.
"Berikutnya BUKU 1 dan BUKU 2 serta emiten besar dengan aset di atas Rp 250 miliar, pengungkapannya harus dilakukan untuk tahun fiskal 2020. Jadi di tahun ini harus dilakukan,” ujar Hasan.
Selanjutnya pada 2022, yang akan dilaporkan pada 2023 yakni untuk emiten sedang dengan aset antara Rp 50 sampai Rp 250 miliar. Pada 2024 yang dilaporkan pada 2025 itu untuk emiten-emiten kecil. "Jadi pada saatnya pengungkapan ini tentu menjadi mandatory,” pungkas dia.