Suku Bunga Acuan Naik, Bank Mandiri Bakal Ikutan?

Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen. Lalu bagaimana Bank Mandiri merespons suku bunga tinggi saat ini?

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 31 Jan 2023, 21:35 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2023, 21:35 WIB
Salah satu BUMN yang telah berhasil mewujudkan transformasi digital adalah PT Bank Mandiri Tbk melalui Super App Livin’ by Mandiri. (Dok Kementerian BUMN)
Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen sejalan dengan prediksi Bank Mandiri. (Dok Kementerian BUMN)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)  menjadi 5,75 persen. Suku bunga acuan itu telah naik 2,25 persen dari posisi sebelum Agustus 2022 pada angka 3,5 persen.

Direktur Treasury & International Banking Panji Irawan mengatakan, kenaikan suku bunga pada dasarnya sudah diantisipasi oleh perbankan, termasuk Bank Mandiri.

"Jadi ini pada umumnya telah diantisipasi oleh perbankan. Keputusan kenaikan 2,25 bps BI7DRR adalah langkah menjalankan front loading dan preemptive untuk menjaga inflasi inti dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dibandingkan mata uang negara lain,” kata Panji, Selasa (31/1/2023).

Kenaikan suku bunga itu sejalan dengan proyeksi dari Bank Mandiri. Sehingga bank akan melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan aspek likuiditas bank, struktur biaya dana serta kondisi pasar secara reguler.

Pada intinya Bank akan mengikuti tren yang terjadi di industri industri akan merespons apa yang diberikan sinyalnya oleh otoritas moneter.

"Dampak kenaikan suku bunga memang tidak serta merta dikenakan ke debitur. Dari sisi aset, reprising bank Mandiri lakukan secara selektif dan bertahap dengan mengutamakan kelancaran kondisi keuangan debitur-debitur Bank Mandiri,” imbuh Panji.

Disamping itu Bank Mandiri juga memiliki cost of credit (cof) yang rendah atau membaik dari 1,91 persen ke level 1,21 persen per akhir 2022, terendah dalam beberapa tahun terakhir. Lalu didorong oleh dana pihak ketiga (DPK) Bank Mandiri tumbuh positif 15,46 persen YoY dari Rp 1.291,2 triliun pada akhir 2021 menjadi Rp 1.490,8 triliun pada akhir tahun 2022.

Rasio CASA Bank Mandiri secara bank only pada akhir 2022 yang kini mencapai 77,64 persen, naik 365 bps YoY, melampaui rata-rata industri perbankan.  “Oleh karena hal-hal itu, Bank Mandiri mampu menjaga suku bunga yang tetap kompetitif terhadap pasar,” tutup Panji.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dampak Kenaikan Suku Bunga Sudah Terlihat, Ekonomi Melambat

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai kenaikan suku bunga acuan bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meski, penyesuaian suku bunga acuan ini juga mampu mengendalikan inflasi.

Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin mengungkapkan, langkah yang dilakukan sejumlah negara mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga bisa jadi tantangan pertumbuhan ekonomi. Itu jadi tantangan baru pasca ada ancaman stagflasi yang menyasar sejumlah negara di dunia.

"Kemarin ada (ancaman) stagflasi, sekarang risikonya sudah sedikit bergeser, jadi inflasinya sudah sedikit terkendali tekanannya," kata dia dalam KAPj Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1/2023).

"Tapi kemudian kita akan melihat bahwa respons kebijakan moneter yang sangat agresif di banyak negara untuk mengatasi inflasi yang sekarang akhirnya sudah menunjukkan hasilnya, cukup mereda itu, itu kemudian berdampak pada ekonomi yang melambat," sambungnya.

Rahadian menjelaskan, memang kebijakan semacam pengetatan suku bunga ini memiliki dampak yang cukup panjang. Dampaknya bisa berlangsung antara 2 kuartal hingga 1 tahun.

"Jadi kalau sekarang banyak negara terutama Amerika Serikat melakukan kebijakan moneter yang agresif, dampak ke ekonominya bisa kita rasakan 1 tahun kedepan," urainya.

Dia menyebut, melalui kebijakan ini, inflasi sudah berangsur menurun meski masih dalam posisi yang cukup tinggi. Seiring dengan pengetatan suku bunga yang dilakukan berbagai negara, termasuk Indonesia.

 

 

 

 


Cukup Moderat

Data Pertumbuhan Ekonomi G20 per Kuartal III 2022
Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (15/11/2022). Berdasarkan data Kementerian Investasi, ekonomi AS per kuartal III adalah 1,8%, sementara ekonomi Korea Selatan adalah 3,1%. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lebih lanjut, Rahadian mengungkap kalau kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia sendiri masih cukup moderat. Dengan langkah terbaru, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sepanjang 2022, BI sendiri sudah menaikkan sebesar 225 basis poin.

"Yang kalau dibandingkan dengan negara lain ini sebetulnya masih cukup moderat. Kita bisa berharap dari sisi pengetatan kebijaan suku bunga, dampaknya terhadap perekonomian domestik ini tidak terlalu besar," paparnya.

Ancaman lainnya yang membayangi adalah adanya dampak dari pandemi terhadap perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih.

"Dengan konteks tersebut, pandemi sudah berakhir, tapi scaring effect masih ada, tekanan inflasi dengan suku bunga berpotensi berdampak negatif ke perekonomian, kita melihat outlook pertumbuhan ekon global terus menurun," bebernya.


Waspada Pembukaan Aktivitas China

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

China tengah membuka kembali aktivitasnya seperti biasa setelah menetapkan kebijakan zero covid. Upaya ini dinilai sebagian pihak dapat menggerakkan ekonomi China, dan berdampak positif bagi ekonomi global.

Kebijakan zero covid-19 sendiri dilakukan China dengan membatasi kegiatan masyarakatnya untuk menyetop penyebaran virus. Sayangnya, setelah dibuka kembali, tingkat kasus pun ikut melonjak.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin memandang hal itu perlu tetap diwaspadai. Jika lonjakan kasus bisa ditangani, maka dampaknya bisa positif terhadap ekonomi, namun jika tak bisa ditangani, maka akan berdampak negatif ke ekonomi.

"Setelah itu kasus covid melonjak tinggi termasuk kematiannya, banyak pihak memperkirakan pembukaan akan positif ke ekonomi global termasuk Indonesia, karena kita tahu ekonomi China ini besar tapi kita masih menunggu mungkin dalam 2-4 minggu kedepan seperti apa kenaikan kasus ini di China," paparnya dalam KAPj Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1/2023).

Salah satu yang ditekankan oleh Rahadian adalah soal penanganan Covid-19 di China. Alasannya, ini kembali menentukan geliat ekonomi baik secara domestik China, maupun pengaruhnya terhadap ekonomi global.

"Karena kalau kemudian sistem kesehatannya itu gak mampu menampung kenaikan jumlah kasus yang besar, maka itu akan memiliki dampak yang negatif ke aktivitas ekonomi di China," ungkapnya.

Kendati begitu, penanganan covid-19 secara umum, kata dia, telah menunjukkan perbaikan di awal tahun 2023 ini. Sehingga, pertumbuhan ekonomi masih bisa diprediksi dengan baik.

"Secara umum, baik di global maupun Indonesia, kita sudah bisa menyampaikan bahwa pandemi sudah membaik, kita sudah bisa hidup dengan covid," kata dia.

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya