Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau disebut BNI bakal menggelar pembelian kembali (buyback) saham yang telah dikeluarkan dan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Jumlah saham yang akan dibeli kembali oleh BNI diperkirakan maksimal Rp 905 miliar atau 10 persen dari total modal disetor.
Baca Juga
Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia, Selasa (7/2/2023), buyback akan dilakukan dengan harga yang dianggap baik dan wajar oleh BNI dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
Advertisement
Transaksi pembelian saham dilakukan melalui satu Anggota BEI, baik secara bertahap maupun sekaligus, dan diselesaikan paling lambat 18 bulan sejak Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Tahun Buku 2022 yang dilaksanakan pada 2023.
"Buyback dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi bursa dan harga saham Perseroan, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk namun tidak terbatas pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU PT) dan Peraturan BEI No. I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas," tulis Manajemen Perseroan, Selasa, 7 Februari 2023.
Sementara itu, perkiraan jumlah nilai nominal seluruh buyback sebesar-sebesarnya Rp 905 miliar berasal dari arus kas bebas (free cash flow) berupa saldo laba yang belum ditentukan penggunaannya.
Manajemen BNI menegaskan, buyback saham tidak akan memberikan dampak negatif yang material bagi kegiatan usaha dan pertumbuhan Perseroan, karena Perseroan saat ini memiliki modal dan cash flow yang cukup untuk melakukan dan membiayai seluruh kegiatan usaha, kegiatan pengembangan usaha, kegiatan operasional serta buyback.
Pertimbangan BNI Buyback Saham
Di sisi lain, pertimbangan BNI melakukan buyback saham sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak cukup fluktuatif sepanjang 2022 yang dipengaruhi kondisi geopolitik, harga komoditas, dan kebijakan moneter bank-bank sentral dunia dalam melakukan rate adjustment.
Namun, seiring kinerja keuangan Perseroan yang terus membaik, harga saham BBNI pada akhir 2022 tercatat sebesar Rp 9.225 atau meningkat 36,7 persen year on year (yoy).
Pada awal 2023, IHSG sempat berfluktuasi, antara lain dipengaruhi sentimen the Fed yang masih mengisyaratkan lebih banyak kenaikan suku bunga, dampak geopolitik yang masih berlanjut, serta normalisasi kebijakan pandemi di China yang menyebabkan foreign outflow (arus keluar asing) ke market China setelah tiga tahun lockdown.
Fluktuasi di market dan tekanan jual ini diperkirakan masih terus berlanjut hingga semester I 2023. Untuk itu, buyback dimaksudkan untuk membantu mengimbangi tekanan jual di pasar saat IHSG sedang berfluktuasi.
Harga saham BBNI hingga 3 Februari 2023 tercatat sebesar R 9.300 (+0,8 persen YtD), dengan Price to Book Value (PBV) sebesar 1,27 kali. Nilai PBV ini masih berada di bawah rata-rata 10 tahun yang sebesar 1,42 kali.
Jadwal
- Pengumuman informasi rencana pembelian kembali saham dan Pengumuman RUPS Tahunan Tahun Buku 2022: 6 Februari 2023
- Perkiraan Tanggal RUPST: 15 Maret 2023
- Perkiraan Periode Buyback: 16 Maret 2023-15 September 2024
Advertisement
BNI Kantongi Laba Rp 18,31 Triliun pada 2022, Tertinggi Sepanjang Sejarah
Sebelumnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau BNI berhasil menutup 2022 dengan mencetak kinerja impresif dan melampaui konsensus pasar. Hal ini tercermin dari laba bersih konsolidasi yang tercatat Rp 18,31 triliun, tumbuh signifikan 68 persen Year-on-Year (YoY), dan merupakan perolehan laba bersih tertinggi sepanjang sejarah BNI.
"Kinerja yang prima ini terwujud melalui kerja keras seluruh insan BNI dalam menjalankan kebijakan strategis yang ditetapkan, di tengah periode pemulihan ekonomi 2022 serta upaya memastikan agenda transformasi perusahaan terus berjalan sesuai dengan blueprint," kata Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar dalam Public Expose Full Year 2022 BNI, Selasa (24/1/2023).
Total kredit yang disalurkan pada 2022 telah mencapai Rp 646,19 triliun, tumbuh di atas target awal perusahaan yaitu mencapai 10,9 persen YoY, diikuti dengan Net Interest Margin (NIM) yang terjaga di posisi 4,8 persen. Pertumbuhan kredit yang sehat ditopang oleh ekspansi bisnis dari debitur top-tier dan bisnis turunannya yang berasal dari value chain debitur.
Dari sisi likuiditas, BNI berhasil mencatatkan pertumbuhan Current Account Saving Account (CASA) yang kuat sebesar 10,1 persen YoY, yang dihasilkan dari strategi perseroan untuk membangun transaction-based CASA, melalui penyediaan solusi keuangan dan transaksi yang komprehensif dan reliable.
Pertumbuhan fee-based income (FBI) pun tercatat sebesar 8,7 persen YoY menjadi Rp 14,8 triliun. Hal ini dicapai dengan melakukan pergeseran pola pertumbuhan FBI untuk mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan biaya transfer melalui program BI Fast sejalan dengan trend menurunnya transaksi transfer antar bank.
“BNI secara inovatif berhasil menumbuhkan pendapatan non bunga yang memberi value-added bagi nasabah. Contohnya di retail banking, fitur billpayment atau pembayaran tagihan saat ini berkontribusi lebih dari Rp 300 miliar ke pendapatan, atau tumbuh 18 persen YoY,” beber Royke.
Fasilitasi Sindikasi
Selain itu, di segmen Business Banking, BNI semakin aktif dalam memfasilitasi sindikasi dan mampu berkontribusi hampir Rp 1 triliun ke pendapatan non bunga, atau naik 100 persen dibandingkan tahun lalu.
Hasil kinerja yang positif ini berdampak pada Pre-provisioning Operating Profit (PPOP) yang dibukukan sebesar Rp 34,4 triliun atau tumbuh 10,8 persen YoY. Selain itu, upaya perbaikan kualitas kredit melalui kebijakan perkreditan yang efektif mampu menekan rasio NPL sebesar 90 basis poin (bps) secara tahunan menjadi 2,8 persen.
Jumlah kredit yang direstrukturisasi dengan stimulus Covid juga terus menurun nilainya menjadi Rp 49,6 triliun atau setara dengan 7,8 persen dari total kredit. Penurunan di kuartal lalu terutama berasal dari sektor-sektor yang paling terdampak pandemi seperti restoran, hotel, tekstil dan konstruksi, hal ini mengindikasikan bahwa bisnis debitur di sektor tersebut mulai kembali pulih.
Trend positif pada kualitas aset ini juga mendorong pembentukan beban CKPN menjadi lebih rendah sehingga Cost of Credit membaik dari 3,3 persen di tahun sebelumnya menjadi 1,9 persen.
"Pertumbuhan PPOP yang kuat dan diikuti dengan perbaikan kualitas aset ini membuat kami mampu menutup 2022 dengan capaian yang menggembirakan. Laba bersih ini adalah tertinggi sepanjang sejarah dan berada di atas ekspektasi pasar,” kata Royke.
Advertisement