Bursa Saham Asia Ceria, Investor Menanti Data Ekonomi China hingga India

Sejumlah data ekonomi akan rilis pekan ini dari China dan India. Hal itu akan pengaruhi bursa saham Asia Pasifik.

oleh Agustina Melani diperbarui 27 Mei 2024, 08:04 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2024, 08:04 WIB
Bursa Saham Asia Ceria, Investor Menanti Data Ekonomi China hingga India
Bursa saham Asia Pasifik menguat pada perdagangan Senin (27/5/2024) seiring investor fokus pada data ekonomi dari China dan India yang akan dirilis akhir pekan ini.(AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham Asia Pasifik menguat pada perdagangan Senin (27/5/2024) seiring investor fokus pada data ekonomi dari China dan India yang akan dirilis akhir pekan ini.

Mengutip CNBC, China akan merilis indeks purchasing manager’s pada Jumat pekan ini. Sedangkan India akan merilis data produk domestik bruto (PDB) tahun fiskal kuartal IV. Australia juga akan mengumumkan inflasi pada April 2024 pada Rabu pekan ini. Analis ING prediksi, inflasi Australia melemah.

Indeks Nikkei 225 di Jepang naik 0,39 persen. Indeks Topix bertambah 0,4 persen, dari koreksi pada Jumat pekan lalu. Indeks Kospi Korea Selatan mendaki 0,3 persen. Indeks Kosdaq naik 0,35 persen. Selain itu, indeks ASX 200 bertambah 0,52 persen. Indeks Hang Seng berjangka berada di posisi 18.659 dari penutupan pekan lalu di posisi 18.608,94.

Di wall street pada Jumat pekan lalu, indeks Nasdaq catat rekor seiring kenaikan saham Nvidia. Indeks Nasdaq melonjak 1,1 persen ke posisi 16.920,79. Indeks S&P 500 bertambah 0,7 persen. Indeks Dow Jones menguat 0,01 persen.

Wall Street Sepekan

Sebelumnya, wall street bervariasi selama sepekan dengan indeks Nasdaq catat kenaikan terbesar. Kenaikan sejumlah harga saham teknologi membantu indeks Nasdaq.

Mengutip CNBC, Sabtu, 25 Mei 2024, selama sepekan, indeks S&P 500 hanya naik tipis 0,03 persen. Indeks Nasdaq menguat 1,41 persen. Indeks Dow Jones merosot 2,22 persen, menandai mingguan negatif pertama dalam lima minggu.

Pada perdagangan Jumat, 24 Mei 2024, indeks Nasdaq mencatat rekor tertinggi baru seiring kenaikan saham produsen chip Nvidia. Hal ini menjadi katalis positif di tengah kekhawatiran the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS akan menunda penurunan suku bunga.

Indeks S&P 500 menguat 0,7 persen ke posisi 5.304,72. Indeks Nasdaq naik 1,1 persen ke posisi 16.920,79. Indeks Dow Jones menguat tipis 4,3 poin atau 0,01 persen ke posisi 39.069,59.

Harga Saham Nvidia Melonjak

Markas Nvidia  di Santa Clara, California. Justin Sullivan/Getty Images/AFP
Markas Nvidia di Santa Clara, California. Justin Sullivan/Getty Images/AFP

Saham Nvidia melonjak 2,6 persen pada perdagangan Jumat pekan ini seiring antusiasme terus berlanjut usai merilis laporan keuangan. Sentimen itu mendorong, harga saham Nvidia berada di atas USD 1.000 untuk pertama kalinya.

Sentimen bullish terhadap raksasa artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan perusahaan teknologi lainnya mendorong pasar lebih tinggi bahkan ketika kekhawatiran the Fed tidak akan menurunkan suku bunga pada musim panas ini.

Setelah beberapa rilis data ekonomi dan tenaga kerja yang kuat pekan ini, Goldman mendorong perkiraan penurunan suku bunga pertama the Fed kembali ke September dari posisi Juli.

“Inflasi kemungkinan akan meningkat pesat pada September, tetapi tidak sempurna, dan keputusan pemangkasan suku bunga kurang jelas,” tulis ekonom Goldman, David Mericle.

Sementara itu, pelaku pasar sekarang memperhitungkan kemungkinan kurang dari 50 persen bank sentral akan menurunkan suku bunga pada pertemuan September, menurut CME FedWatch Tool.

Pada Jumat pekan ini, sejumlah saham teknologi menguat. Harga saham Advanced Micro Devices dan Intel masing-masing naik 3,7 persen dan 2,1 persen. Saham Meta dan Netflix masing-masing reli 2,7 persen dan 1,7 persen. Kenaikan harga saham teknologi itu mendorong indeks Nasdaq cetak rekor pada 2024.

 

JPMorgan Puji 2 Negara Ini Jadi Titik Terang Pasar Saham hingga M&A di Asia

Ilustrasi bursa saham Asia (Foto by AI)
Ilustrasi bursa saham Asia (Foto by AI)

Sebelumnya, JPMorgan melihat India dan Jepang menjadi dua titik terang di pasar Asia yang sangat menarik. Hal itu melihat dari pergerakan saham hingga aktivitas kesepakatan merger dan akuisisi di kawasan tersebut.

"Ada Jepang yang sedang “terbakar”. India yang permintaannya sangat tinggi,” ujar Co-head of Global Banking JPMorgan, Filippo Gori, seperti dikutip dari CNBC, ditulis Jumat (24/5/2024).

Indeks Nikkei 225 seperti indeks India Nifty50 menguat hampir 26 persen selama setahun ini, berdasarkan data LSEG.

Di sisi lain, aktivitas merger dan akuisisi merosot secara global pada 2023. Di Jepang, aktivitas tersebut naik 23 persen dari tahun lalu. Nilai kesepakatan mencapai USD 123 miliar. Demikian disampaikan Bain&Company dalam laporan Japan M&A. “Posisi ekonomi Jepang sangat unik, demikian juga pertumbuhan merger dan akuisisi,” dalam laporan itu.

Sentimen di pasar India bersifat bullish dengan sebagian besar pembuat kesepakatan prediksi perbaikan pada 2024, demikian disampaikan analis Bain&Company.

Tahun lalu, nilai kesepakatan M&A di India mencapai USD 136 miliar, turun 27 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang sejalan dengan penurunan aktivitas M&A secara global, menurut laporan Deloitte India.

“Kepercayaan bisnis dan investor yang berkelanjutan terhadap India dapat membuka jalan bagi pemulihan nilai kesepakatan di negara tersebut,” demikian disebutkan dalam laporan itu.

Negara-negara seperti India dan Jepang juga mendapatkan manfaat dari strategi “China Plus One”, karena investor mencari negara lain di kawasan ini untuk menempatkan uangnya di tengah meningkatnya ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China.

Perusahaan yang ingin memperluas jejak manufaktur mereka di India akan mendorong aktivitas M&A di negara tersebut. “Hal ini dapat dikaitkan dengan konfigurasi ulang rantai pasokan global China Plus One dan kebijakan pemerintah yang menguntungkan seperti skema insentif terkait promosi manufaktur di China,” tulis Deloitte.

 

Fokus di Sektor AI

Ilustrasi bursa saham Asia (Foto by AI)
Ilustrasi bursa saham Asia (Foto by AI)

Sementara itu, raksasa teknologi Amerika Serikat, Apple mengalihkan sebagian produksinya ke India setelah pengendalian COVID-19 yang ketat di China menganggu operasinya di sana, dengan sekitar 14 persen iPhone-nya dilaporkan dibuat di India saat ini.

Aktivitas kesepakatan merger dan akuisisi ini dapat difokuskan pada sektor artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Gori menuturkan, kecerdasan buatan memiliki potensi untuk menambah triliunan dolar Amerika Serikat pada perekonomian global pada 2030.

PwC menuturkan, AI dapat berkontribusi hingga USD 15,7 triliun terhadap ekonomi global pada 2030.

"Jadi minatnya banyak. Apakah hal ini akan mendorong banyak aktivitas pembuatan kesepakatan di belahan dunia ini, saya pikir kita perlu melihat dinamika tertentu. Geopolitik dapat berperan dalam hal ini, jadi saya pikir masih terlalu dini untuk mengatakannya,” ujar Gori.

“Layanan kesehatan dan energi terbarukan pasti akan mendorong banyak aktivitas,” ia menambahkan.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya