Prospek Pasar Modal di Semester II-2024, Rontok atau Cerah?

Ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi pasar saham pada Semester II-2024, apa saja?

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 04 Jul 2024, 11:49 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2024, 10:00 WIB
IHSG Ditutup Melemah ke Level 6.679
Pekerja tengah melintas di bawah layar Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Selasa (16/5/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Analis memperkirakan prospek pasar modal para paruh kedua tahun ini masih cukup positif. Keyakinan prospek pasar saham itu merujuk pada sejumlah faktor, salah satunya potensi pemangkasan suku bunga acuan.

"Lalu juga pada semester II akan ada pergantian presiden dan kabinet yang nantinya akan disambut positif oleh para pelaku pasar," kata Equity Analyst Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora kepada Liputan6.com, Kamis (4/7/2024).

Beberapa waktu lalu, pasar modal tanah air diwarnai sejumlah sentimen seperti HSBC yang menurunkan peringkat saham Indonesia hingga rencana penerapan short selling. Menurut Andhika, penurunan peringkat oleh HSBC sesuai ekspektasi pelaku pasar telah tercermin pada harga saham saat ini.

"Sentimen HSBC dan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat pasar saham Indonesia, sudah ter-priced in dengan penurunan yang terjadi pada IHSG sejak Maret 2024. Sedangkan untuk sentiment short selling nampaknya untuk saat ini belum berpengaruh banyak terhadap IHSG," kata Andhika.

Laporan Keuangan

Dihubungi secara terpisah, Pengamat Pasar Modal Lanjar Nafi menjabarkan sejumlah faktor lain yang akan mempengaruhi pasar modal Indonesia pada semester II 2024. Antara lain, laporan keuangan paruh pertama tahun 2024 yang mayoritas positif.

"Ini menandakan adanya peningkatan kinerja pelaku bisnis domestik meskipun di tengah era suku bunga tinggi," jelas Lanjar.

Di sisi lain, pertumbuhan kredit yang stabil dengan target BI di level 9-11% sebagai bukti nyata tetap adanya ekspansi usaha dari pelaku bisnis. Menurut Lanjar, valuasi saham-saham di Indonesia relatif undervalue secara fundamental, sementara kinerja bisnis yang positif belum diapresiasi oleh investor secara harga saham.

 


Sentimen Apa yang Mempengaruhi?

IHSG
Pekerja beraktivitas di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Senada dengan Andhika, pada semester II nanti kondusifitas politik pasca pemilu dan transisi pemerintahan baru dapat memicu agresifitas pemerintah untuk menstabilkan perekonomian.

"Selain itu, ruang intervensi pemerintah dalam menopang kestabilan masih sangat lebar seperti suku bunga BI rate yang berada di level 6.25%, cadangan devisa yang besar dan Instrumen alat kebijakan moneter telah berhasil menyerap likuiditas yang besar," jelas Lajar,

Bersamaan dengan itu, Lanjar mencermati tensi geopolitik global menurun jelang pemilihan presiden di Amerika. Hal ini akan menjadi sentimen positif untuk iklim investasi global terutama negara berkembang.

 


Pemilihan Ekonomi Tiongkok

Perdagangan Awal Pekan IHSG Ditutup di Zona Merah
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemulihan ekonomi Tiongkok terus terlihat kongkrit setelah data PMI Manufaktur mereka terus bergerak membaik pada teritori ekspansi/ Faktor lainnya, harga batu bara dan raw material tambang berpotensi rebound pada semester II akibat permintaan dari Tiongkok yang meningkat.

"Selain itu ada beberapa faktor yang akan menjadi risiko dan perlu di cermati. Seperti spekulasi fiskal defisit di tengah transisi pemerintahan baru dengan sejumlah manuver pembangunan pemerintah dari segi gizi hingga IKN," kata Lanjar.

Lanjar menilai beberapa mekanisme perdagangan baru seperti short selling juga menarik dicermati. Meskipun mekanisme tersebut dapat meningkatkan likuiditas pasar namun ada juga risiko.

"Short selling dapat menjadi strategi yang menekan secara psikologis karena melibatkan taruhan bahwa harga saham akan turun, yang bisa bertentangan dengan kecenderungan alami investor untuk berharap harga saham naik," tutur Lanjar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya