Liputan6.com, Jakarta XXI Short Film Festival kembali digelar untuk ketiga kalinya tahun ini. Festival ini bertujuan mencari sineas muda berbakat dengan mengadakan kompetisi film pendek tingkat nasional. Festival ini diadakan sejak 18-22 Maret 2015 di Epicentrum XXI, Jakarta.
Dari ratusan film pendek yang masuk, kemudian terpilih 23 film dalam tiga kategori, yaitu Fiksi Naratif, Animasi, dan Dokumenter.
Jumat (20/03/2015), empat finalis berkunjung ke redaksi Liputan6.com untuk berbagi pengalaman dalam membuat film pendek.
Advertisement
Wregas Bhanuteja mengungkapkan, film pendeknya berjudul Lemantun terinspirasi dari kisah nyata tradisi keluarganya. Filmnya mengisahkan pemberian warisan seorang ibu pada anak-anaknya. Bukan berupa rumah atau perhiasan, melainkan si ibu membagikan lemari kepada anak-anaknya.
Ngobrol bareng empat finalis XXI Short Film Festival 2015. (foto: Herman Zakharia)
Tokoh Tri di film Lemantun mewakili paman Wregas yang dalam kenyataan memiliki kehidupan yang mirip. "Paman saya tidak kawin," katanya. Atas dasar itu kemudian Wregas ingin mengabadikan momen ini.
"Lemari itu diibaratkan seperti rahim. Di sana ada adegan Pakde masuk ke dalam lemari yang menggambarkan kerinduan untuk bisa kembali ke dalam kandungan ibu. Di mana saat dalam kandungan, semua terasa aman, nyaman dan tenang," terang filmmaker kelahiran 20 Oktober 1992 ini.
Pengalaman lainnya dirasakan Alvin Ardiansyah dalam membuat filmnya, Joshua. Film ini mengingatkan penonton akan kenangan masa kecil saat baru menginjak bangku sekolah. Dengan menggunakan anak-anak sebagai pemain, membuat Alvin dan tim memakan waktu cukup lama dalam proses produksi film berdurasi 12 menit ini.
"Mengarahkan anak-anak butuh ekstra kesabaran. Kita juga harus menyediakan banyak fasilitas untuk membuat mereka nyaman ketika syuting seperti makanan dan mainan bahkan kasur," ujar Alvin sambil tertawa.
Selanjutnya>>
Berbeda dengan Alvin dan Wregas, Purba Negara menceritakan tantangan dalam proses pembuatan dua filmnya yang berbeda jenis, fiksi dan dokumenter. Tantangan dalam film fiksinya, Jerat Samsara dibuat menggunakan film 8mm, kamera tradisional yang masih menggunakan pita film seluloid sehingga semua adegan harus dilakukan dalam satu kali take.
"Berbeda dengan syuting menggunakan kamera digital, kita dapat memonitor gambar yang diambil, dengan kamera 8mm ini semua harus dipastikan sebelum pengambilan gambar," ungkap Purba.
Sementara itu dalam membuat film dokumenternya, Digdaya Ing Bebaya, Prabu mengatakan tantangan berasal dari lokasi syuting. Ia harus merekam momen yang pas sembari melewati medan yang cukup sulit di lereng gunung Merapi.
"Ketika medannya sulit, kita harus mengambil gambar bagus, itu tantangannya," tambahnya lagi.
Â
Membuat film tidak hanya membutuhkan keahlian namun juga passion dalam menjalaninnya. Seperti halnya Jason Iskandar, filmmaker Seserahan ini mengaku lebih nyaman membuat film dibanding kegiatan lain.
"Awalnya saya lebih sering desain dan foto tapi lama kelamaan saya merasa kedua hal itu terbatas pandangannya, sedangkan video lebih luas, jadi saya lebih nyaman di video," jelas Jason yang karyanya ini memenangkan penghargaan film pendek terbaik di Festival Sinema Perancis 2014.
Seluruh finalis ini akan berkompetisi mendapatkan penghargaan XXI Short Film Festival 2015 untuk beberapa kategori yang akan diumumkan pada Minggu, 22 Maret besok. (Eka Laili/Ade)
Â
Advertisement