Liputan6.com, Jakarta Sahabat dan juga mantan pengacara Sandy Tumiwa, Firman Chandra mengkritisi RUU Omnibus Law terkait haji dan umrah. Firman yang merupakan Wakil Ketua Bidang Hukum DPP AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia) menemukan adanya upaya desakralisasi haji dan umrah.
Menurut Firman Chandra, ada ketentuan baru yang diatur dalam draft Omnibus Law yang mengubah pasal 89 UU No. 8/2019, yaitu pada bagian ketiga tentang untuk mendapatkan izin menjadi Penyelenggara Perjalanan Ibadha Umrah (PPIU), biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan: (a) dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam.
“Di sini perlunya peran negara dalam hal ini Kemenag serta Asosiasi untuk men-drill down penafsiran juga memberi masukan agar sesuai dengan UU Penyelenggaraan Umrah dan Haji,” ujar Firman Chandra dalam keterangannya secara tertulis, baru-baru ini.
Advertisement
Penambahan
Selain itu, lanjut Firman, AMPHURI juga menilai adanya penambahan sanksi bagi PPIU dan PIHK dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Dimana dalam UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pada pasal 125 dan pasal 126 hanya mengatur denda maksimal Rp 10 miliar dan penjara maksimal 10 tahun. Akan tetapi di dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja ditambah poin baru dalam perubahan pasal 125 dan 126.
“Sanksi diberikan bagi PIHK dan PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan,” katanya.
Advertisement
Memperjuangkan
Artinya, kata Firman, pasal 125 ayat 2 dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja, bagi PIHK bandel wajib mengembalikan biaya sejumlah yang disetorkan jamaah haji khusus. Begitu juga untuk pasal 126 ayat 2 bagi PPIU bandel.
“Karena ini, asosiasi akan serius memperjuangkan hal ini dan sesegera mungkin untuk melakukan hearing dengan Kemenag, khususnya Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah, untuk membahas hal yang cukup krusial ini,” tandasnya.