Liputan6.com, Jakarta Mass karya perdana sineas Fran Kranz mulanya menampilkan kecanggungan dua pengurus gereja yakni Judy (Breeda Wool) dan Anthony (Kagen Albright) saat menyambut kedatangan Kendra (Michelle N. Carter).
Pertemuan terjadi di gereja episkopal, di mana ruang kebaktian utama hendak dipakai untuk latihan paduan suara. Lagu rohani yang hendak dilantun pada hari itu, “Blest be the Tie That Binds.”
Advertisement
Baca Juga
Dengan sedikit basa-basi dari ketiganya, film Mass mempersilakan penonton masuk ke ruang lebih kecil dengan jendela kaca dan salib pertanda Tuhan Yesus akan jadi saksi sebuah pertemuan akbar. Siapa saja yang akan bertemu? Berikut review film Mass.
Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Keluarga Korban Vs. Pelaku
Dua pasang orangtua masuk ke ruang itu. Ayah ibu Hayden, Richard (Reed Birney) dan Linda (Ann Dowd) menemui orangtua Evan, yakni Jai (Jason Isaacs) dan Gail (Martha Plimpton). Sejak awal Gail tampak tidak siap.
Jai mengingatkan andai Gail belum siap menemui orangtua Hayden, ia bisa memutar balik mobil sembari membatalkan pertemuan. Apa yang membuat pertemuan ini terasa berat? Rupanya, enam tahun silam terjadi penembakan di sekolah Evan.
Evan jenazah nomor 1 yang ditemukan aparat. Mendengar ini, hati Jai dan Gail ambyar. Dalang penembakan adalah Hayden. Beberapa saat sebelum kejadian, Hayden diduga berkomunikasi intens dengan Alex terkait senjata.
Tak hanya itu, percakapan intens dan emosional menguak ledakan bom pipa dan Evan bukan satu-satunya korban tewas dalam aksi biadab ini. Ada 10 anak lain yang meninggal sementara Hayden disebut bunuh diri.
Mulanya pertemuan berlangsung canggung. Linda melebur kecanggungan dengan menyerahkan karangan bunga untuk Gail. Menit-menit setelahnya berlangsung dramatis dan diwarnai linang air mata.
Advertisement
Setelah Menit ke-20
Setelah menit ke-20, kamera Mass tak membawa kita ke mana-mana kecuali ruang pertemuan empat orangtua. Praktis sinematografer Ryan Jackson Haley memutar otak agar penonton tidak jenuh.
Beragam angle ditawarkan dari closeup wajah para orangtua, memunggungi kamera, detail memegang tangan, hingga pergerakan ketika satu dua tokoh memilih meninggalkan forum, beringsut ke pojok.
Pergerakan kecil ini tak hanya efektif mengusir jenuh, namun membuat penonton berempati seraya mengukur seberapa dalam luka yang mesti diobati selama bertahun-tahun.
Ini tergambar jelas dalam naskah yang detail. Enam tahun berlalu namun Richard ingat betul siapa saja yang tewas, posisi luka tembak di tubuh masing-masing korban, dan luka lain apa yang “menghiasi” tubuh korban.
Detail Penembakan
Jai bahkan masih ingat penembakan terjadi pada jam dan menit ke berapa. Termasuk berapa menit waktu yang dipunya Evan untuk mempertahankan hidupnya. Lalu, ada Gail yang mencoba menahan diri untuk tidak menjadi polisi.
Sebagai orangtua korban, keinginan untuk tahu latar belakang tersangka dan detail perilaku ganjil yang mungkin tampak di rumah menjadi penting. Aspek psikologi komunikasi tergambar jelas di sini.
Naskah Fran Kranz menyentuh banyak persoalan dari kebijakan politik di daerah terjadinya penembakan, bagaimana keluarga mencoba melanjutkan hidup setelah tragedi terjadi, dan dugaan terkait perilaku tersangka.
Advertisement
Tak 100 Persen
Yang membuat Mass terasa genius, ia tak 100 persen memihak keluarga korban. Awam biasanya tegak lurus “pasang badan” untuk pihak korban tanpa memikirkan hancurnya keluarga pelaku mendapati fakta anaknya jadi pembunuh.
“Dunia berduka atas 10 orang korban dalam penembakan ini, tetapi kami sebelas,” ungkap Richard dengan eskpresi muka pedih tapi berusaha tetap kuat. Satu yang tak dihitung dunia adalah pelaku yang tewas.
Empat pemain di film ini tampil penuh penjiwaan dan terasa riil. Believable. Bisa jadi ini karena empat aktor yang memerankan kurang familier di mata penonton Indonesia.
Empat Bintang, Satu Ruang
Yang familier bisa jadi Jason Isaacs. Ia pernah muncul dalam Black Hawk Down dan Harry Potter and the Chamber of Secrets. Ann Dowd dikenal publik Indonesia berkat Hereditary. Ia juga membintangi The Handmaid’s Tale dan diganjar Emmy Awards.
Justru karena kurang familier, mereka tampak seperti orangtua pada umumnya. Dua performa yang paling menyita perhatian, adalah Ann Dowd yang sejak awal tampak mengayomi, terlihat sudah melakukan penerimaan diri dan dewasa.
Gail sejak awal tak siap. Richard mencoba tenang dan menjaga wibawa namun lama-lama kedodoran juga. Jai tampil emosional dan hebatnya hanya butuh satu momen untuk meledak.
Advertisement
Terkunci Masa Lalu
Mass dituturkan dengan intens. Naik turun grafik konfliknya efektif mengaduk emosi penonton dengan tempo yang dijaga betul. Mengasyikkan menyaksikan dalam sebuah ruangan, empat karakter memperlihatkan sifat asli mereka. “Terkunci” masa lalu, dikunci pula dalam sebuah ruangan.
Mau tak mau mereka harus mencari cara untuk keluar. Mereka berproses. Frans terampil menjaga perputaran konflik hingga penonton terus menerka apakah dua keluarga ini saling memaafkan dan menjaga silaturahmi?
Penonton merasakan pergolakan batin para tokoh hingga lupa bahwa kamera enggak ke mana-mana selama satu setengah jam. Namun, ada satu adegan yang bikin hati remuk dan air mata berlinang. Justru persis ketika masalah dianggap telah selesai.
Empati dan Pengampunan
Satu adegan ini dieksekusi dengan ekspresi yang dalam. Mengubah arah empati termasuk perspektif penonton. Di sanalah kita melihat dalamnya cinta ibu. Mass benar-benar menghangatkan hati, menumbuhkan empati, dan membangkitkan harapan soal pengampunan.
Terima kasih untuk naskah yang detail, tidak berat sebelah, menyentuh beragam persoalan serta punya banyak dimensi. Penampilan Ann dan Jason dinominasikan di banyak festival film independen. Begitu pula naskah buatan Fran.
Mass salah satu film penting di 2021 yang layak ditonton tahun ini. Mass tidak tayang di bioskop. Anda bisa menyaksikannya secara legal di KlikFilm. Satu lagi, pemilihan lagu “Blest be the Tie That Binds” terasa pas dan menggarisbawahi inti cerita.
Pemain: Reed Birney, Ann Dowd, Jason Isaacs, Martha Plimpton, Michelle N. Carter, Breeda Wool, Kagen Albright
Produser: Dylan Matlock, Casey Wilder Mott, J.P. Wuellette, Fran Kranz
Sutradara: Fran Kranz
Penulis: Fran Kranz
Produksi: 7 Eccles Street, Circa 1888, 5B Productions
Durasi: 110 menit
Advertisement