Liputan6.com, Jakarta Sutardji Calzoum Bachri adalah seorang penyair kontemporer terkemuka Indonesia. Berkat dedikasinya terhadap perkembangan syair di Indonesia, dia dijuluki sebagai Presiden Penyair Indonesia dan diberi gelar Datuk Seri Pujangga Utama.
Sutardji Calzoum Bachri yang merupakan pelopor penyair angkatan 1970-an itu juga dikenal dengan ungkapan Kredo Puisi yang menyatakan bahwa kata-kata harus terbebas dari pengertian dan beban ide. Kredo puisi memberikan pemahaman pembaca terhadap karya-karya sajak dan sikap kepenyairannya.
Baca Juga
Merenangkan Sutardji Calzoum Bachri, Denny JA kembali mengingat pada 1981, ketika pertama kali dirinya menjadi mahasiswa. Saat itulah Denny JA berkenalan dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri.
Advertisement
Momen ini diungkap Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, dalam pidatonya yang dibacakan di acara Hadiah Sastra untuk Sutardji Calzoum Bachri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu malam (24/6/2023).
Puisi Berjudul Kucing
Denny JA mengingat momen ketika dirinya berada di beranda Masjid Salemba UI dan mengulang-ulang membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Kucing yang ditulis pada 1973.
Denny JA juga mengaku teringat dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Walau yang ditulis pada 1979.
“Dulu pernah kuminta Tuhan dalam diri. Sekarang tak. Kalau mati, mungkin matiku bagai batu tamat, bagai pasir tamat. Jiwa membumbung dalam baris sajak. Tujuh puncak membilang bilang. Nyeri hari mengucap ucap, di butir pasir kutulis rindu rindu. Walau huruf habislah sudah, alifbataku belum sebatas Allah," dia mengulas.
Advertisement
Soal Pemahaman Agama Yang Formalistik
Denny JA juga mengisahkan, pada 1981, ketika dirinya menjadi ketua mahasiswa Angkatan 81 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, intensitas kegiatan agama di kalangan mahasiswa sangat tinggi, terutama akibat revolusi Islam di Iran yang dibawa Khomeini pada 1979.
Slogan dan pernyataan soal prinsip agama Islam agar semakin hadir di ruang publik sangat sering diwacanakan. Denny JA yang saat itu banyak membaca filsafat dan sastra, merasa kurang nyaman dengan pemahaman agama yang formalistik dan literal.
"Puisi Sutardji saat itu mengisi kebutuhan batin saya. Kerinduan akan sentuhan Tuhan yang mendalam terasa dalam puisi Sutardji. Tapi, ia mengekspresikan kerinduan religius itu dengan pola yang tak biasa,” tutur Denny JA.
Ekspresi Berbeda
Pendiri LSI ini menuturkan, berdasarkan data riset, mereka yang menganggap agama penting dan sangat penting dalam hidupnya di Indonesia sangatlah banyak, yakni di atas 90 persen.
Menurutnya, Sutardji Calzoum Bachri sebagai penyair mengekspresikan batin dirinya dan Indonesia. Namun sebagai sastrawan, Sutardji Calzoum Bachri mengekspresikan batin agama itu berbeda dibandingkan yang disampaikan oleh para kiai, dai dan ustadz di masjid.
Berbeda pula dengan cara seorang akademisi dan intelektual dalam menyatakannya. Dia menjelaskan, bahasa puisi membuat Sutardji Calzoum Bachri dapat mengekspresikannya secara lebih urakan, tak biasa, dan out of the box. Namun, justru ekspresi yang tak biasa itu membuat renungan religiusnya memiliki tempat sendiri yang berbeda dalam memori.
Advertisement