Kata Pengamat Hukum soal Penerapan Hukuman Kebiri Kimia

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki angkat bicara mengenai pelaksanaan hukuman kebiri kimia untuk terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto, Jawa Timur.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 26 Agu 2019, 23:55 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2019, 23:55 WIB
Penangkapan Ditangkap Penahanan Ditahan
Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Liputan6.com, Surabaya - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki angkat bicara mengenai pelaksanaan hukuman kebiri kimia untuk terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto, Jawa Timur. 

Dia menuturkan, eksekusi hukuman kebiri kimia terpidana yang sudah ditetapkan dalam amar putusan hakim, wajib dilaksanakan oleh eksekutor.

"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegas dia, Senin (26/8/2019).

Yusron menilai, penerapan hukuman kebiri kimia memberikan kepastian hukum atas tindakan pelaku. Hal ini bukan berarti dapat memberikan efek jera atau efektif tetapi lebih kepada kepastian hukum.

Terkait dengan pelaksanaan teknis hukuman kebiri kimia, Yusron menyatakan, telah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (diubah UU nomor 35 tahun 2014).

Ia menuturkan, Perpu itu, pada pasal 81A, mengatur tentang kapan waktu pelaksanaan kebiri kimia harus dilakukan. Pasal 81A menyebut "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok."

"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ungkapnya.

Saat disinggung jika dokter yang diminta jaksa menolak karena bertentangan dengan prinsip maupun keilmuan kedokteran, Yusron menjawab,  pada prinsipnya tidak ada seorang warga negara pun yang dapat menolak undang-undang atau aturan negara. 

Sebab, jika aturan dalam undang-undang telah 'memerintahkan', semua orang dianggap tahu dan wajib melaksanakan perintah undang-undang tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika dokter tidak setuju dan berencana 'melawan' perintah undang-undang tersebut, dapat menyalurkannya sesuai dengan jalur konstitusi.

"Dokter harus tunduk dan patuh terhadap hukum negara. Kalau dokter tidak setuju atau menolak hukuman kebiri, jalannya bisa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi prinsipnya, semua pihak wajib melaksanakan aturan undang-undang, tidak bisa menolak," tambahnya.

Jadi, jaksa dianggapnya masih memiliki waktu yang cukup panjang, sambil mempersiapkan perangkat teknis eksekusi. Hal ini mengingat belum ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk eksekusi terkait hukuman kebiri kimia.

"Yang saya tahu dari media, terpidana kan divonis 12 tahun penjara ya. Jadi, setelah masa pidana pokok selesai, baru jaksa melaksanakan hukuman tambahannya. Aturannya demikian, masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Kronologi

Penangkapan Ditangkap Penahanan Ditahan
Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Sebelumnya, Muhammad Aris sejak 2015 lalu terbukti telah mencabuli 9 anak gadis yang tersebar di Mojokerto. Aksi pelaku sempat terekam kamera CCTV salah satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis 25 Oktober 2019 sekitar pukul 16.30 WIB. Akhirnya pelaku berhasil diringkus polisi pada 26 Oktober 2018.

Lalu, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto menjatuhkan vonis bersalah pada Aris karena melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PN Mojokerto nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019.

Hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan pun dijatuhkan pada Aris. Sebagai hukuman tambahan, hakim memerintahkan pada jaksa agar melakukan 'kebiri kimia'.

Dalam kasus ini, Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan.

Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PT Surabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY pada 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap, lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya