Liputan6.com, Jakarta - Sastra dan puisi adalah karya yang dapat dinikmati berbagai kalangan. Baik generasi tua atau pun muda banyak yang masih menggemari karya sastra. Di Surabaya, Jawa Timur, salah satu penyair yang melahirkan banyak karya yaitu Suripan Sadi Hutomo.
Suripan Sadi Hutomo berasal dari Jawa Tengah. Ia sempat menjadi Guru Besar IKIP Surabaya dan Dekan FPBS IKIP Negeri Surabaya, yang sekarang menjadi UNESA.
Berikut rangkuman kisah Suripan Sadi Hutomo yang dirangkum dari Surabaya Punya Cerita Vol.1 karya Dhahana Adi. Cerita ini dituturkan oleh sejumlah dosen senior UNESA, Suparto Brata (penulis sastra Jawa dan pelaku sejarah Surabaya) dan beberapa sastrawan-budayawan Surabaya.
Advertisement
1. Mengenal Suripan Sadi Hutomo
Suripan Sadi Hutomo adalah pria kelahiran Desa Ngawen, Blora, 5 Februari 1940. Setelah lulus dari SMA bagian B di Blora, Suripan melanjutkan studi di Universitas Airlangga.
Baca Juga
Suripan mengambil studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Airlangga, Surabaya (1968). Kemudian Ia memperdalam ilmu sastra (filologi dan sastra lisan) di Universitas Leiden, Belanda (1978-1979). Suripan kemudian meraih gelar Doktor Ilmu Sastra dari Universitas Indonesia (1987).
Dalam berkarya, Suripan sering menulis menggunakan bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris. Tulisannya dituangkan dalam berbagai bentuk meliputi puisi, cerpen, esai kritik, dan lain-lain. Karyanya tak jarang dimuat dalam majalah hingga harian yang ada di Indonesia atau pun luar negeri.
Selain menjadi penulis, Suripan juga aktif dalam organisasi. Ia pernah menjadi Anggota Dewan Kesenian Surabaya (1974 – 1975), Koordinator Badan Harian DKS (1975), dan Redaktur Kebudayaan Majalah Liberty (1976).
Ia juga menjadi Redaktur Kebudayaan “Balada”. Rubrik ini hadir setiap hari Minggu dalam Harian Bhirawa. Melalui rubrik ini, Suripan mengulas puisi-puisi karya penyair Jawa Timur.
Melalui rubrik ini juga, banyak penyair yang menjadi terkenal seperti Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib dan (alm) Linus Suryadi G. Mereka sering mengirim puisi ke rubrik Balada.
Selain itu, Ia juga tercatat sempat menjadi Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab majalah Ilmiah Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, Pembantu Khusus Majalah Berbahasa Jawa, Jaya Baya. Terakhir, Ia menjadi Guru Besar IKIP Surabaya dan Dekan FPBS IKIP Negeri Surabaya, yang sekarang menjadi UNESA.
*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Mengajarkan Pentingnya Menulis pada Generasi Muda
2. Mengajarkan Pentingnya Menulis pada Generasi Muda
Pria yang mendapat julukan “HB Jassin-nya sastra Jawa” memberikan perhatian lebih pada generasi muda. Ia ingin generasi muda mengikuti jejaknya khususnya dalam hal menulis.
Hal ini terlihat dari dibentuknya Bengkel Penulisan Kreatif di Sanggar Sastra Jawa Triwida, Tulungagung pada awal 80-an. Dalam sanggar tersebut, Suripan secara langsung menjadi instruktur penulisan cerpen, puisi, esai, dan novel.
Selain itu, jiwa semangatnya untuk menularkan budaya menulis pada generasi muda terlihat saat Ia bekerja di IKIP Negeri Surabaya. Ia sering mengingatkan mahasiswanya tentang pentingnya menulis.
Menurut pria yang gemar berselonjor di kursi goyang ini, menulis adalah pekerjaan yang mulia. Bahkan menurut dia, apabila masih ada sistem kasta, penulis termasuk dalam kasta Brahmana atau kasta yang tertinggi derajatnya.
Terkait hal itu, tak heran bila IKIP Surabaya banyak melahirkan penulis atau pengarang dibanding IKIP lainnya. Bahkan apabila Suripan bisa menciptakan mata kuliah sendiri, Ia akan membuat mata kuliah mengarang.
Advertisement
Karya Suripan
3. Karya Suripan
Sebagai penyair, Suripan banyak mendapatkan julukan. Penyair Zawawi Imron menjuluki Suripan sebagai “Penyair Beras Kencur”. Julukan lain datang dari Dr. Setya Yuwana Sudikan dengan julukan “Penyair Kampungan”.
Julukan ini tak lepas dari karya-karyanya. Puisi-puisi Suripan banyak menghadirkan tema sosial. Dalam karyanya Ia banyak mengangkat sindiran tajam tapi lembut dan metafor yang akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kampung.
Beberapa karya Suripan adalah puisi berjudul Curut (1975), Hartati (kumpulan sajak, 1988), Cerita Pendek dari Surabaya (1991), dan masih banyak lagi.
Penulis asal Jawa yang juga mendapat julukan “doktor kentrung” ini akhirnya tutup usia di Surabaya pada 23 Februari 2001.
(Kezia Priscilla – Mahasiswa UMN)