Melestarikan Ludruk di Era Serba Digital

Ludruk merupakan budaya khas yang ada di Surabaya. Budayawan Kukuh berpendapat bagaimana agar Ludruk bisa lestari.

oleh Liputan Enam diperbarui 30 Jan 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2020, 04:00 WIB
Tanpa Naskah, Pemain Ludruk Jago Improvisasi
Ludruk (Sumber: humas.surabaya.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai budaya tumbuh dan berkembang menghiasi Surabaya. Namun, tak jarang juga budaya-budaya tersebut habis dimakan zaman. Salah satu cara mempertahankannya adalah dengan diturunkan kepada generasi selanjutnya.

Di Surabaya, Jawa Timur terdapat budaya yang masih ada hingga kini, yaitu Ludruk. Budaya ini dulu sangat digemari oleh masyarakat Surabaya. Ludruk juga hampir mirip dengan Ketoprak dan Srimulat, tetapi Ludruk mempunyai keunikan dan pakem tersendiri.

Lalu, bagaimana kabar Ludruk di Surabaya sekarang ini? Dilihat dari akun instagram Dinas Pariwisata Surabaya masih berupaya menampilkan pertunjukan ludruk.

Mengutip instagram @surabayasparkling, ludruk yang baru saja manggung di Gedung Balai Budaya di Surabaya adalah Ludruk Luntas yang membawakan cerita "Misteri Suster Gepeng" pada 11 Januari 2020. Kali ini Liputan6.com akan membahas mengenai budaya Ludruk yang ada di Surabaya.

Ludruk merupakan pertunjukan tradisional berisikan cerita-cerita yang diperankan oleh laki-laki. Menurut Budayawan Universitas Airlangga, Kukuh Yudha Karnanta, Ludruk mempunyai pedoman yang berbeda dengan Ketoprak dan Srimulat.

"Pakem Ludruk adalah ada pemain laki-laki didandani seperti perempuan dan berlagak seperti perempuan untuk menghasilkan efek komedi/komikal tertentu," kata Kukuh saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, Rabu, 29 Januari 2020.

Kukuh menuturkan, di dalam Ludruk terdapat panjak (pemain gamelan), bedhayan atau tandhak (aktor), dan juragan Ludruk. Biasanya, Ludruk menampilkan cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

"Cerita kehidupan sehari-hari khususnya kalangan rakyat jelata. Temanya cinta, perjuangan, cari jodoh, dagang, dan lain-lain," kata dia.

Mengutip Antara, merujuk dari beberapa literatur awal adanya kesenian pertunjukan tradisional Ludruk di Jawa Timur sudah ada sejak abad ke-13 berbarengan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Budayawan Akhudiat menuturkan, saat itu, budaya Islam melarang kaum perempuan tampil sebagai pertunjukkan seni sehingga pemainnya adalah laki-laki. Kukuh menyebutkan, Ludruk eksis pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

"Era orde lama dan orde baru masih eksis. Sering juga dianggap sebagai media propaganda dari partai politik ataupun pemerintah," kata Kukuh.

Kukuh juga menuturkan, Ludruk tidak mempunyai batasan untuk jumlah pemain, dan kostum yang digunakannya pun menyesuaikan cerita yang diangkat.

"Namun yang khas adalah biasanya ada Tari Remo dan Jula-Juli dengan memakai ikat kepala bernama udeng Surabaya," kata dia.

Budaya Ludruk ini masih ada di Surabaya, bahkan sering ditampilkan di Gedung Balai Budaya. Namun, Ludruk yang sekarang kebanyakan sudah dicampur dengan seni teater dan jarang Ludruk yang masih memegang pakem.

"Ada yang masih memegang pakem, ada yang hybrid setengah teater dan memainkan lakon-lakon teater. Misal, Ludruk Irama Budaya Nusantara milik Meimura," kata dia.

Di zaman sekarang, Ludruk harus bertahan dengan budaya-budaya lain karena kemajuan zaman. Kukuh berpendapat, Ludruk bisa terus ada dan berkembang mengikuti zaman dengan alasan-alasan tertentu.

"Selama Ludruk peka pada perubahan zaman dan para senimannya adaptif pada perubahan itu, terutama perubahan teknologi informasi, dia akan bertahan,” jelas Kukuh.

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Melihat Cangkrukan di Era Industri 4.0

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Kapolda Jatim menggelar cangkrukan bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) pada Senin, 19 Agustus 2019 (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Sebelumnya, kegiatan cangkrukan bukan hal asing bagi masyarakat Jawa Timur terutama Surabaya. Cangkrukan  menjadi pertemuan untuk berdiskusi mengenai apa saja di dalam lingkungan masyarakat. Kegiatan tersebut pun berlaku hingga kini, dan dapat sebagai ajang untuk saling berkomunikasi dan memperkuat solidaritas.

Pada Agustus 2019, sempat ada gesekan di Surabaya, Jawa Timur terkait asrama mahasiswa Papua. Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Luki Hermawan menggelar cangkrukan bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS).

Kegiatan tersebut juga dihadiri Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak. Cangkrukan tersebut juga merupakan bagian untuk meluaskan komunikasi dengan mahasiswa Papua di Surabaya. Dengan cangkrukan tersebut diharapkan ada pengertian, muncul kepercayaan dan saling menghormati.

Kegiatan cangkrukan termasuk budaya di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Budaya Cangkrukan mempunyai arti duduk bersantai dengan teman, saudara, atau siapa saja membincangkan hal apa saja tanpa ada hirarki.

Tujuan dari cangkrukan adalah untuk rasan-rasan, berdiskusi, belajar, bertukar info, dan lain-lain. Di Eropa, cangkrukan ini juga dikenal dengan Public Sphere. Umumnya berlokasi di kafe dengan audiens umumnya dari kelas pekerja, bisa juga disebut forum bebas untuk berbicara tentang masalah apa saja.

Di Indonesia, Cangkrukan lebih dikenal di wilayah subkultur arek. Sedangkan di daerah Jawa lainnya, mereka menyebut cangkrukan dengan jagongan.

Menurut Budayawan dari FIB Universitas Airlangga, Kukuh Yudha Karnanta, pada dasarnya karakter masyarakat itu memang berkumpul. Oleh karena itu, di Surabaya ada konsep srawung,gumbul,cangkruk, jagongan, yaitu praktik berkumpul, berbicara, bermain, bergosip, dan lain-lain. Di tempat-tempat tertentu, umumnya cangkrukan dilakukan sambil makan dan minum kopi.

Kukuh menuturkan, untuk menjadi sebuah budaya, dia biasanya berulang, turun temurun, di dalamnya ada sistem ide, perilaku dan produk. Cangkrukan terdapat ide di dalamnya, yaitu srawung atau akrab dengan teman adalah perlu. Perilaku, berkumpul, minum kopi, bergosip, berdiskusi, dan lainnya. Hal produk adalah warung kopi, minuman, banner, dan lain-lain. Maka disimpulkan  cangkrukan adalah praktik budaya.

Dulu di desa cangkrukan biasa dilakukan di pos ronda, pematang sawah, dan pinggir kali. Jika di kota, cangkrukan biasa dilakukan di warung, kantin, dan lain-lain.

Kukuh juga mengatakan, cangkrukan beda dengan misalnya yang dilakukan di kantor, yaitu ketika yang berbicara bos dan atasan, itu bukan cangkruk.

Tak hanya gaya hidup dan industri, budaya cangkrukan juga berevolusi. Cangkrukan ini mengalami fenomena pergeseran atau perubahan mengikuti industri 4.0.

Saat ini, orang-orang berkumpul dengan gawai dalam genggaman. Juga warung kopi yang sederhana berubah mengikuti zaman. Kukuh berpendapat, pada intinya mereka tetap berinteraksi tetapi tidak hanya oral atau verbal, tapi digital.

"Sekarang warkop tempat cangkruk pasang wifi. Pengunjung sibuk ngegame or chating. Prinsipnya dulu cangkruk itu ‘Mendekatkan/mengakrabkan diri. Sekarang, mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Teman yang jauh disapa via gadget, yang dekat dicuekin. Mungkin itu ya fenomena Cangkrukan 4.0," kata Kukuh, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 12 Desember 2019.

Meskipun ada fenomena gawai, menurut Kukuh, cangkrukan akan selalu relevan karena gawai hanya sebuah alat, sedangkan cangkrukan menyangkut kesadaran dan praktik yang berulang.

Budaya cangkrukan ini akan selalu ada, karena menurut Kukuh itu adalah naluri dasar manusia yang kini menjadi gaya hidup. Di tengah teknologi yang berkembang ini, cangkrukan berperan sebagai ruang untuk beraktualisasi, rekreasi, dan menguatkan solidaritas kelompok.

“Nilai positif yang dapat diambil dari budaya cangkrukan adalah untuk merekatkan solidaritas, kebersamaan, dan ruang-ruang diskusi yang relatif cair dan tanpa hirarki yang ketat,” kata Kukuh.

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya