Sehat Sutardja, Orang Indonesia Tersukses di Silicon Valley

Sehat Sutardja mengantongi ratusan paten dan perusahaan yang ia dirikan memiliki ribuan karyawan dengan kantor di berbagai negara di dunia

oleh M Hidayat diperbarui 01 Jul 2017, 18:33 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2017, 18:33 WIB
Diskusi Tema A Culture of Innovation di Kongres Diaspora Indonesia
Co-Founder of Marvell Technology Group, Sehat Sutardja berfoto bersama Eliza Sariaatmadja usai diskusi dalam 4th Congress of Indonesian Diaspora di Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu (1/7). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketika mendengar nama Silicon Valley, mungkin yang langsung terlintas di benak kita adalah "markas" dari perusahaan teknologi bergengsi dunia. Namun siapa sangka, di sana ada diaspora Indonesia yang sukses dengan pencapaian gemilang.

Adalah Sehat Sutardja, orang Indonesia kelahiran Jakarta yang merupakan co-founder dari perusahaan semikonduktor Marvell Technology Group. Ia menjadi salah satu pembicara di Kongres Diaspora Indonesia, yang mulai berlangsung Sabtu (1/7/2017) di The Kasablanka, Kota Kasablanka, Jakarta.

Sebelum Sehat berbicara di hadapan ribuan orang yang menghadiri acara tersebut, ketua Board of Trustees Indonesia Diaspora Network Global Dino Patti Djalal bahkan menyebut pria pemegang titel S-1 hingga S-3 di bidang engineering itu sebagai orang Indonesia tersukses di Silicon Valley. Ungkapan itu tidaklah berlebihan, mengingat Sehat mengantongi ratusan paten dan perusahaan yang ia dirikan memiliki ribuan karyawan dengan kantor di berbagai negara di dunia.

Saat bercerita kepada audiens, Sehat mengungkapkan bagaimana ia pertama kali tertarik kepada transistor hingga lika-liku yang ia hadapi.

"Waktu saya berusia dua belas tahun, saya mulai tertarik untuk bisa memahami bagaimana cara kerja transistor. Buat ukuran anak dua belas tahun, menyenangi transistor tentu hal yang aneh," kata pria yang pernah menjadi pembicara di ajang World Economic Forum tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan, orangtuanya pada awalnya justru menginginkan ia menjadi dokter karena profesi ini dianggap menjanjikan.

"Ibu saya bilang, 'Kamu harus jadi dokter, supaya banyak uang, nanti beli rumah bagus'. Namun saya tetap pada pendirian, saya cuma mau belajar transistor atau elektronik," ungkapnya.

Tonton video menarik berikut ini:

Keterbatasan referensi dan Hijrah ke AS

Sehat Sutardja di World Economic Forum on East Asia di Jakarta, Indonesia, 2011. Kredit:  World Economic Forum by Sikarin Thanachaiary via Wikipedia
Sehat Sutardja di World Economic Forum on East Asia di Jakarta, Indonesia, 2011. Kredit: World Economic Forum by Sikarin Thanachaiary via Wikipedia

Belajar di tengah keterbatasan referensi

Saat itu referensi untuk belajar transistor dan ilmu elektronik sangat terbatas. Referensi pertama yang ia gunakan adalah majalah berbahasa Tiongkok dari Hong Kong, yang diterjemahkan oleh ibunya. Kemudian ia mencari referensi lain untuk memuaskan dahaganya dalam belajar transistor.

"Saya masih ingat, saya cari di Yellow Pages, menemukan alamat tukang servis radio di daerah Pasar Baru. Saya pergi menemuinya untuk minta diajari soal transistor, tapi tidak cocok, lalu mencari orang lain hingga akhirnya bisa memahami dasar cara kerja transistor dan elektronik serta mendapat sertifikat keahlian untuk servis radio," paparnya.

"Kegilaan" Sehat terhadap transistor kian menjadi-jadi. Ia bisa menghabiskan waktu tiga hingga empat jam per hari untuk bergelut dengan dunia transistor dan elektronik hingga suatu waktu ia berhasil merangkai alat elektronik sendiri yang dapat berfungsi.

'Hijrah' ke Amerika Serikat

Diakuinya, orang-orang di sekitarnya saat itu ada yang meragukan Sehat bisa sukses dengan modal pemahaman di bidang elektronik. Ia pun memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat.

"Kalau mau betul-betul paham elektronik, artinya saya harus pergi ke tempat di mana elektronik lahir. Makanya saya pergi ke AS," ujarnya.

Pendiriannya yang teguh menekuni bidang elektronik hingga mendulang sukses juga mengisyaratkan bahwa seseorang tidak perlu hebat di banyak bidang, melainkan cukup di satu bidang saja.

"Kalau kamu suka seni, ya habiskan waktu dan upaya kalian setidaknya tiga sampai empat jam per hari untuk belajar seni," pungkasnya.

(Why/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya