Liputan6.com, Jakarta - Rencana DPR memperluas pasal kesusilaan menjadi perhatian masyarakat, tak kerkecuali di dunia maya.
Khawatir pasal tersebut melanggar hak privasi warga negara, akhirnya muncul sebuah petisi menolak perluasan pasal 284 yang bertujuan menghukum seks di luar nikah.
Petisi bertajuk "Tolak RKUHP yang Mengkriminalisasi Perempuan, Anak, Masyarakat Adat dan Kelompok Marjinal" tersebut sudah ditandatangani hampir 70,000 orang. Pantauan Tekno Liputan6.com, angka itu diyakini masih terus bertambah.
Advertisement
Baca Juga
Petisi muncul di situs Change.org dan dicetuskan oleh Tunggal Pawestri, seorang aktivis veteran di bidang perempuan dan HAM.
Perluasan pasal 284 membuat hubungan seks konsensual (sama-sama suka) antara dua orang dewasa di luar nikah menjadi sebuah tindakan yang dapat berujung pada penjara.
Selama ini, pasal zina hanya dikenakan pada hubungan selingkuh (adultery) apabila ada aduan dari pasangan nikah. Namun, dengan rencana perluasan pasal 284, pasangan yang sama-sama suka yang belum menikah dapat dipidanakan bila berhubungan seks.
Pertimbangan Tunggal Pawestri menolak perluasan pasal itu didasarkan pada potensi pelanggaran hak privasi yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Tunggal juga menunjukkan, pasal zina dapat membahayakan karena memicu orang lain untuk menjadi 'polisi moral' dan main hakim sendiri terhadap privasi milik orang lain.
Selain faktor pelanggaran privasi dan bahaya polisi moral, ada juga kekhawatiran lain karena pasal ini berpotensi merugikan korban pemerkosaan dan juga anggota masyarakat adat karena masih ada perkawinan adat yang tidak dicatat oleh administrasi kependudukan.
Karenanya, Petisi itu meminta agar DPR melakukan kajian ulang dengan mempertimbangkan HAM serta membuka ruang partisipasi publik.
Membahayakan Korban Eksploitasi Seks
Tunggal menjelaskan, pasal peluasan zina juga terkesan tidak pro terhadap korban eksploitasi seks.
Contohnya, apabila ada seorang anak di bawah umur dirayu dan diperdaya oleh orang dewasa untuk dieksploitasi secara seksual, maka sang anak di bawah umur juga berpotensi terkena pasal zina.
Kekhawatiran Tunggal juga masih erat kaitannya dengan masalah perkawinan anak, karena dikhawatirkan dengan terjadinya peluasan pasal zina dapat mendorong terjadinya perkawinan anak dengan alasan menolak zina.
Di Indonesia, praktek perkawinan anak masih banyak terjadi. Data Badan Pusat Statistik 2015 mengungkapkan ada satu dari lima anak perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
Perkawinan anak juga dapat merenggut hak anak perempuan yang seharusnya mendapatkan haknya untuk mendapat pendidikan, bermain, dan tumbuh kembang optimal, tetapi menjadi harus lebih dini mengasuh buah hati.
Advertisement
Pidana Lewat MK
Sebelumnya, Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak mayoritas ibu-ibu pada 2016 lalu juga menggugat perluasan pasal zina ini.
Dalam gugatannya terkait Pasal 284 KUHP, pemohon mengatakan cakupan seluruh arti kata "zina" hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat pernikahan juga bisa dikatakan zina.
Adapun untuk Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga kepada pria.
Kemudian Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa.
Pengujian pasal tersebut akhirnya ditolak oleh lima hakim MK. Perdebatan peminadaan zina pun sekarang pindah ke DPR.
(Tom/Jek)
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: