Liputan6.com, Jakarta - Menurut startup solusi daur ulang sampah berbasis teknologi Octopus, pemulung atau pelestari bukanlah pekerjaan yang bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, profesi ini dinilai jadi bagian penting dalam ekosistem mereka.
CEO Octopus Moehammad Ichsan mengatakan, pemulung biasanya mengambil sampah-sampah yang bisa didaur ulang untuk kemudian dijual langsung ke bank sampah atau pengepul.
Baca Juga
"Octopus mencoba untuk mendigitalisasi para pemulung ini, bagaimana caranya supaya mereka mendapatkan pendapatan lebih banyak melalui platform digital yang kami buat" kata Ichsan dalam wawancara virtual dengan Liputan6.com.
Advertisement
Ichsan mengungkapkan, dalam prosesnya, startup ini melibatkan beberapa elemen kunci yaitu rumah tangga sebagai, lalu para pemulung atau yang mereka sebut pelestari, serta pengepul atau bank sampah.
"Jadi rumah tangga memberikan sampahnya kepada pelestari dengan tujuan supaya mereka lebih bertanggung jawab kepada sampahnya, dan si pelestari dia bisa ambil sampah itu secara gratis yang nantinya dia bisa jual," kata Ichsan.
Nantinya, sampah yang dikoleksi ke dalam ekosistem Octopus, akan dijual langsung ke industri daur ulang. Jika diibaratkan, maka pemulung selayaknya ojek online atau kurir untuk mengambil sampah.
Soal digitalisasi, Ichsan mengungkapkan bahwa sudah banyak pemulung yang bisa menggunakan smartphone.
Â
Pastikan Pelestari Tak Perlu Jalan Jauh
"Pada saat kami mulai Octopus di Makassar, pas kami ketemu dengan satu yayasan yang selama ini sudah melakukan penyuluhan kepada pemulung, mereka bilang 'di sini pemulung semua sudah pakai handphone kok,'" kata Ichsan.
"Sehingga jauh lebih mudah bagi kami untuk melakukan penetrasi kepada mereka, supaya mereka bisa menggunakan aplikasi yang kami kembangkan," imbuhnya.
Ichsan menjelaskan, saat pemulung bergabung dengan ekosistem Octopus, mereka akan mendapatkan berbagai manfaat yang memberikan kemudahan dalam pekerjaannya.
"Kami memastikan para pemulung ini mendapatkan order benar-benar yang jalannya tidak perlu jauh-jauh. Mereka tinggal nunggu order dalam aplikasi, ada order masuk, dia tinggal ambil," kata Ichsan.
Sistem yang digunakan juga memudahkan para pemulung untuk mendapatkan order sedekat mungkin, mengingat hampir semua yang bergabung dengan Octopus berjalan kaki untuk bekerja sehari-hari.
Advertisement
Beragam Sampah yang Dikumpulkan
Setelah mendapatkan order, pemulung pun mendapatkan rekomendasi tempat yang dekat untuk mereka menjual sampah yang bisa didaur ulang. Octopus di sini juga menggandeng para pengepul dan bank sampah.
Untuk saat ini, Octopus sudah tersedia melayani sejumlah wilayah di Indonesia di antaranya Makassar, Bali, Bandung, Jakarta, dan Depok.
Jenis sampah daur ulang yang bisa dikumpulkan pun saat ini sudah beragam mulai dari botol plastik minum atau produk kecantikan, plastik sachet, kardus, kertas, botol kaca, dan yang terbaru adalah sampah elektronik.
Ichsan menyebut, pelestari atau pemulung yang sudah mendapatkan pelatihan dari mereka telah mencapai sekitar 15 ribu orang, dengan ratusan ribu pengguna aplikasi.
Untuk bank sampah dan pengepul yang sudah bergabung dengan ekosistem sudah ada sekitar 2.800 sampai tiga ribu titik.
Â
Insentif Bagi Pengguna Aplikasi
Model bisnis B2B (business-to-business) pun menjadi cara Octopus untuk mempertahankan usaha mereka, di mana pendapatan perusahaan didapatkan dengan menjual sampah yang mereka kumpulkan langsung ke industri.
"Jadi kita jual langsung ke industri daur ulang, kita dapat margin, marginnya kita spread ke stakeholder-stakeholder tadi mulai dari bank sampahnya, pelestarinya, sampai ke pengguna sebagai insentif," kata Ichsan.
Para pengguna rumah tangga dari Octopus juga ditawarkan insentif atau reward yang menarik misalnya poin yang bisa ditukar berbagai macam seperti voucher makanan dan minuman atau voucher diskon Grab.
Ichsan pun mengungkapkan target Octopus untuk melakukan ekspansi besar-besaran di Pulau Jawa, serta merambah pasar Asia Tenggara dalam lima tahun ke depan.
"Karena market Asia Tenggara kurang lebih sama seperti di Indonesia. Bahkan di Singapura yang kita anggap negara maju tidak ada sampah, ternyata tidak. Di Singapura juga ada yang namanya pemulung, namanya karung guni," ujarnya.
(Dio/Isk)
Advertisement