Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, Google terus meningkatkan kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mereka kembangkan. Salah satu pemanfataan AI ini adalah untuk bisa memberikan jawaban yang lebih baik ketika pengguna internet melakukan penelusuran di Google Search.
Bahkan di pekan ini, Google mengumumkan kehadiran chatbot berbasis AI besutan sendiri yang diberi nama Bard. Chatbot ini disebut-sebut akan menjadi pesaing ChatGPT yang sekarang sedang naik daun.
Baca Juga
Meski teknologi pencarian tersebut kian menjanjikan, perkembangan itu bukannya tanpa akibat. Penulis senior Nieman Lab Joshua Benton mencoba menganalisis mengenai dampak kecanggihan sistem penelusuran Google bagi para penerbit.
Advertisement
Mengutip artikelnya di situs Nieman Lab, Jumat (10/2/2023), menurut Joshua, Google saat ini terus menawarkan kemudahan bagi pengguna internet untuk melakukan penelusuran di situs pencariannya.
Salah satu kemudahan itu ditunjukkan dengan memberikan jawaban langsung, alih-alih menampilkan situs yang memberikan informasi tersebut. Dengan demikian, pengguna internet tidak perlu lagi mengklik sebuah situs, karena jawabannya sudah dimunculkan langsung di laman pencarian.
Sebagai contoh, sejumlah pertanyaan umum seperti "Berapa jumlah orang yang tinggal di Kanada?" atau "Berapa hasil 73 kali 14 dikurangi 12?". Kini, pertanyaan itu bisa dimunculkan langsung jawabannya oleh Google.
Kondisi ini tentu bisa mengancam para penerbit atau media yang sebenarnya menyajikan informasi tersebut, karena secara tidak langsung mereka akan kehilangan klik ke situsnya.
"Semakin banyak pertanyaan yang dijawab Google tanpa klik (ke situs sumber), semakin sedikit traffic yang didapat situs berita yang menjawab (sebuah pertanyaan). Lebih sedikit traffic berarti lebih sedikit tayangan iklan, yang berarti pendapatan lebih rendah," tulis Joshua dalam artikelnya.
Peningkatan Kemampuan Google
Di sisi lain, Google juga terus meningkatkan kemampuan AI-nya, sehingga semakin banyak informasi yang disajikan tanpa perlu memberikan link. Biasanya, hasil jawaban yang diberikan berdasarkan data terstruktur dengan angka yang beragam.
Beberapa contoh pertanyaan yang dimaksud adalah 'Bagaimana pergerakan saham Apple?' atau 'Berapa skor pertandingan Mavs-Heat semalam?'. Ke depannya, Google pun diprediksi akan lebih pintar dan bisa menampilkan jawaban untuk pertanyaan yang lebih rumit.
Joshua mencontohkan, bukan tidak mungkin di masa depan, Google bisa memberikan jawaban untuk beberapa pertanyaan seperti 'Siapa tokoh Republikan yang akan menjadi kandidat presiden?' atau 'Siapa pemain cadangan yang tersisa untuk New Orleans Saints?'.
Seiring waktu, beberapa pertanyaan yang lebih kompleks pun mungkin bisa dijawab Google secara langsung, seperti 'Apa film terbaik dari Terrence Malick?' atau 'Apakah album baru My Morning Jacket bagus?'.
Advertisement
Tuntutan Perubahan
Perkembangan ini pula yang secara tidak langsung membuat sejumlah penerbit di berbagai belahan dunia menuntut kompensasi dari Google. Padahal, kebanyakan informasi yang diberikan merupakan hasil kerja dari penerbit maupun media-media lokal.
Dari sini, menurut Joshua, akan menjadi sebuah problem AI yang cukup rumit. Sebab, Google tentu akan bekerja keras agar pengguna internet tidak perlu meninggalkan Google Search ketika mencari jawaban untuk pertanyaan mereka.
"Selama ini, Google mengatakan mereka tidak terjun dalam bisnis konten, (tapi) tidak sulit membayangkan masa depan di mana misi perusahaan adalah untuk 'mengatur informasi dunia' jauh melampaui spidering dan linking ke dalam pemrosesan algoritma guna memberikan jawaban," tulis Joshua.
Di sisi lain, problem ini nantinya bisa memberikan tekanan serius pada model bisnis situs berita. Dengan kata lain, penerbit atau media harus bisa menemukan ide baru yang menantang gagasan tentang navigasi link economy, konsep SEO, fair use, hingga agregasi.
(Dam/Isk)
Infografis Google dan Facebook (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement