Citra Investasi RI Bakal Tercoreng jika Gagal Bangun PLTU Batang

Pemerintah memastikan Indonesia harus segera merealisasikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang Jateng.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Mar 2014, 17:19 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2014, 17:19 WIB

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memastikan Indonesia harus segera merealisasikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Jawa Tengah. Sebab jika proyek ini gagal, imbasnya bakal mencoreng 'wajah' investasi di Tanah Air. 

"PLTU Batang 2x1.000 megawatt (MW) harus dibangun. Kalau tidak, maka kita akan kekurangan pasokan listrik nasional di 2017," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa di kantornya, Jakarta, Rabu (19/3/2014). 
 
Dia mengaku, saat ini rencana pembangunan PLTU Batang sudah mengalami kemajuan. Dalam catatannya, pembebasan lahan yang belum terselesaikan tinggal 26 hektare (ha). Namun persoalan terbesar saat ini berada dalam penentuan tapak dan turbin.
 
"Saya minta kepada pengembang dan PLN supaya mempercepatnya karena financial closing sudah. Memang perlu mediasi yang baik karena harus segera tuntas," ujarnya. 
 
Hatta menilai, apabila mimpi membangun PLTU terbesar di Asia Tenggara itu kandas, maka citra investasi Indonesia menjadi taruhannya. 
 
Seperti diketahui, proyek PLTU Batang ditaksir menelan investasi Rp 35 triliun karena menggunakan teknologi pulverized coal supercritical.
 
Proyek ini merupakan satu dari proyek berskema Kerja sama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
 
"Kalau batal bisa memperburuk citra atau wajah investasi kita. Sebab PLTU ini adalah salah satu yang terbesar di dunia karena teknologi superkritikal cuma ada di Jepang dan Jerman," kata dia. 
 
Diberitakan sebelumnya, pemancangan tiang pertama (ground breaking) PLTU Batang rencananya akan dilakukan pada tahun 2014 dan menuntaskan masalah keuangan (financial closing) pada Oktober 2013. Sehingga diharapkan 2018 beroperasi atau molor dari rencana semula pada 2017.  
 
Dalam proyek tersebut, pemerintah pusat menggandeng dua pihak swasta asing dari Jepang J Power dengan investasi 34%, Itochu 30%, dan Adaro sebagai investor lokal dengan investasi 34% serta pelaksana tender BPI.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya