Liputan6.com, Jakarta - Pernikahan seharusnya menjadi awal kebahagiaan bagi pasangan yang memulai kehidupan rumah tangga. Namun, dalam beberapa kasus, beban yang diberikan oleh mertua justru membuat kehidupan menantu menjadi sulit.
KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya menyoroti fenomena ini dalam sebuah ceramah. Ia menyampaikan bagaimana sebagian mertua memberikan tuntutan yang berat kepada menantu, bahkan hingga menyulitkan kehidupan mereka.
Advertisement
"Termasuk mertua kadang-kadang menyiksa. Suatu ketika ada satu orang menikah, tuntutan dari mertuanya begitu berat. Laki-laki ini punya motor satu-satunya untuk bekerja, lalu disuruh menjualnya. Akhirnya, ia tidak bisa bekerja," ujar Buya Yahya dalam ceramahnya yang dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @buyayahyaofficial.
Advertisement
Menurutnya, tuntutan berlebihan dari mertua dapat berakibat buruk bagi rumah tangga anak dan menantu. Jika sejak awal sudah dibebani, maka keharmonisan rumah tangga bisa terganggu.
"Kenapa mertua begitu? Kok masih mau? Ya apa adanya dulu ngaku, jangan memaksa. Akhirnya yang seharusnya bulan madu jadi bulan garam," ucapnya sambil bercanda.
Ia menambahkan bahwa seharusnya pernikahan membawa kebahagiaan, bukan justru menambah beban bagi pasangan yang baru memulai kehidupan rumah tangga. Hal ini berlaku baik dalam bentuk tuntutan materi maupun ekspektasi sosial yang tinggi.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Banyak Tuntutan di Awal Pernikahan
Salah satu hal yang sering menjadi beban adalah tuntutan untuk mengadakan resepsi pernikahan yang mewah. Banyak calon pengantin laki-laki harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar demi memenuhi standar yang ditetapkan oleh pihak keluarga perempuan.
"Dia kayaknya pemikir utang, pemikir ini, enggak kerjaan. Termasuk kadang resepsi harus mahal, harus jutaan. Sehingga calon pengantin laki-laki harus mengeluarkan duit yang banyak," lanjutnya.
Menurutnya, kebiasaan ini justru menyerupai praktik jahiliyah, di mana pernikahan dijadikan ajang transaksi yang membebani salah satu pihak.
Senang-senang dalam pernikahan memang dianjurkan, tetapi jika sampai menyulitkan calon pengantin, hal itu tidak dibenarkan. Pernikahan seharusnya menjadi sarana untuk membangun kehidupan bersama, bukan sekadar pamer kemewahan.
Fenomena ini terjadi karena sebagian masyarakat masih memegang budaya yang kurang tepat dalam menyelenggarakan pernikahan. Standar sosial yang tinggi sering kali membuat calon pengantin kesulitan secara finansial.
Buya Yahya menekankan bahwa menikahkan anak bukan berarti menjualnya dengan harga tinggi. Orang tua seharusnya lebih mengutamakan kebahagiaan anak daripada sekadar gengsi.
Advertisement
Mertua Jangan Ikut Campur
Selain itu, ia mengingatkan agar mertua tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya. Terlalu banyak intervensi justru bisa menyebabkan konflik yang merugikan semua pihak.
Tanggung jawab utama orang tua adalah mendukung dan membimbing anak-anaknya dalam membangun rumah tangga. Jika orang tua malah membebani, pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan justru berubah menjadi penderitaan.
Sebagai bagian dari masyarakat, seharusnya ada kesadaran untuk tidak memberikan beban berlebihan kepada calon pengantin. Menikah adalah ibadah yang seharusnya dipermudah, bukan justru dipersulit dengan tuntutan yang berlebihan.
Buya Yahya menegaskan bahwa lebih baik membantu pasangan muda dalam memulai kehidupan mereka daripada membebani mereka dengan tuntutan yang tidak perlu.
Jika mertua benar-benar peduli dengan kebahagiaan anak dan menantu, seharusnya mereka berperan sebagai pendukung, bukan sebagai pemberi beban.
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dimulai dengan niat baik dan tanpa beban yang memberatkan. Dengan begitu, pasangan pengantin bisa fokus membangun kehidupan bersama tanpa tekanan dari pihak keluarga.
Buya Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir lebih bijak dalam menyikapi pernikahan. Sebuah pernikahan akan lebih harmonis jika didukung dengan kebijaksanaan, bukan dengan tuntutan yang berlebihan.
Pada akhirnya, tujuan pernikahan bukanlah sekadar pesta mewah atau memenuhi gengsi keluarga, melainkan membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul