Warga RI Lebih Pilih Jadi Pengangguran Ketimbang Outsourcing

Banyak pekerja yang menolak mekanisme outsourcing karena dianggap lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Jul 2014, 15:06 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2014, 15:06 WIB
Bendera Raksasa Dibentangkan di Antara Ratusan Ribu Buruh
Sebuah spanduk yang berisi salah satu permintaan untuk menghapus sistem kerja outsourching terpasang di pagar sisi dalam GBK (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta Praktek tenaga kerja alih daya atau disebut outsourcing di Indonesia hingga saat ini memang masih menjadi perdebatan antara pengusaha dengan para pekerja. Banyak pekerja yang menolak mekanisme ini karena dianggap lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Wakil Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Iftida Yasar mengatakan sistem tenaga kerja di negara lain tidak mengatur soal sistem outsourcing, namun hanya mengatur soal perlindungan tenaga kerja, baik itu tenaga kerja tetap maupun kontrak.

"Sedangkan di Indonesia sampai diatur mana profesi yang boleh dan tidak, padahal yang boleh mengatur ini seharusnya si perusahaan bukan pemerintah. Seperti di Filipina yang boleh outsourcing ada puluhan pekerjaan. Sedang di Indonesia hanya lima profesi," ujarnya di Kantor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jakarta, Selasa (1/7/2014).

Selain itu, kesalahan penerapan sistem outsourcing di Indonesia yaitu satu bidang pekerjaan dalam sebuah perusahaan diserahkan kepada pekerja yang berasal dari pekerja tetap dan outsourcing sehingga terjadi kesenjangan antara pekerja.

"Ini dikelola oleh orang yang campur-campur. Jangan ada yang tetap dan outsourcing," lanjutnya.

Iftida juga menekankan agar masyarakat Indonesia tidak perlu anti terhadap sistem outsourcing yang pada akhirnya memunculkan stigma bahwa tidak bekerja sama sekali akan lebih baik daripada harus bekerja sebagai tenaga outsourcing.

"Mainset ini beda dengan India yang kehidupannya masih sulit tetapi bagi mereka tidak ada pekerjaan yang hina. Justru yang tidak bekerja itu yang hina," jelas dia.

Begitu juga dengan di Jepang, lanjut dia, dimana orang yang belum bekerja diberikan tunjangan selama 3 bulan. Namun setelah itu, harus bekerja meskipun hanya sebagai petugas pembersih.

"Makanya tidak heran jika di sana orang bunuh diri karena menganggur. Kalau kita menganggur malah cuek-cuek saja. Saat ini yang penting orang bisa bekerja dulu, mau berapa pun gajinya. Karena kalau dia sudah kerja, kan ada jaminan tenaga kerja dari pemerintah. Secara natural orang, akan berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Tetapi jangan mem-brainwash masyarakat agar jangan bekerja outsourcing," tandas dia. (Dny/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya