Beda RI dan Prancis dalam Menekan Peredaran Barang Palsu

Sanksi tidak tegas terhadap pelaku produsen dan pengedar barang palsu membuat peredaran barang palsu merajalela di Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Jul 2014, 11:00 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2014, 11:00 WIB
Ini Hal Membedakan RI dan Prancis Menekan Peredaran Barang Palsu
Sanksi tidak tegas terhadap pelaku produsen dan pengedar barang palsu membuat peredaran barang palsu merajalela di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Masih maraknya peredaran barang-barang palsu di Indonesia dinilai bukan hanya merugikan masyarakat sebagai konsumen tetapi juga merugikan negara.

Tim survei untuk Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Eugenia Mardanugraha mengatakan, Indonesia bisa mencontoh beberapa negara yang telah secara ketat menerapkan aturan untuk menekan peredaran barang palsu.

"Misalnya di Prancis, kalau Anda menggunakan tas ternama tetapi palsu, Anda bisa ditangkap. Atau di Singapura, pengguna software palsu juga bisa ditangkap," ujar Eugenia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Jumat (18/7/2014).

Dia menjelaskan, sebenarnya dari segi penegakan hukum untuk pelaku produsen atau pengedar barang palsu antara Indonesia dan di negara lain sudah dalam level yang sama. Namun yang membedakan adalah penegakan hukum bagi konsumen pengguna barang palsu tersebut.

"Di Indonesia, kalau beli barang palsu tidak diapa-apakan. Razia sering dilakukan tetapi tindakan hukum untuk konsumennya yang belum ada," lanjut dia.

Meski demikian menurut Eugenia, aturan hukum untuk konsumen ini tidak mudah untuk dilaksanakan. Pasalnya alasan konsumen Indonesia menggunakan barang-barang palsu adalah soal harganya yang lebih murah dan hal ini berkaitan kemampuan ekonomi masing-masing konsumen.

Contohnya terkait penggunaan software komputer palsu. Jika semua konsumen diwajibkan membeli software yang asli, sementara konsumen berpendapatan rendah tidak memiliki kemampuan untuk membeli software itu, berarti aksesnya terhadap komputer menjadi terhambat.

"Jadi ujungnya, selain kesadaran tetapi juga pendapatan masyarakatnya. Kita tidak bisa memaksa masyarakat berpendapatan rendah untuk membeli software asli. Kalau tidak beli software yang asli, masa dia tidak punya akses untuk menggunakan komputer. Itu tugas pemerintah bagaimana semua masyarakat bisa menggunakan software yang asli, mungkin diberikan subsidi atau bantuan," tandasnya. (Dny/Ahm)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya