Ini Permintaan Coca Cola Indonesia ke Jokowi

Coca Cola Indonesia sangat membutuhkan gula berkualitas tinggi. Sayangnya pabrik gula di Tanah Air belum memproduksi gula sesuai standar.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Nov 2014, 16:55 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2014, 16:55 WIB
Coca-Cola 2
Foto: businessweek.com

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan ada dua permintaan PT Coca Cola Indonesia kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Kedua permintaan tersebut dilontarkan saat pertemuan antara manajemen perusahaan dengan Menteri Perindustrian, Saleh Husin hari ini (13/11/2014).

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Panggah Susanto menyebut, dua permintaan itu antara lain persoalan upah tenaga kerja dan suplai gula untuk bahan baku produk Coca Cola Indonesia.

"Mereka bilang upah tenaga kerja hendaknya dibuat transparan sehingga memudahkan perencanaan bisnis mereka. Mereka tidak masalah berapa (UMP), yang penting konsistensi dan transparansi," jelas dia di kantornya, Jakarta, Kamis (13/11/2014).

Permintaan kedua, kata Panggah, terkait pasokan gula. Dia menuturkan, Coca Cola Indonesia sangat membutuhkan gula berkualitas tinggi. Sayangnya pabrik gula di Tanah Air belum memproduksi gula sesuai dengan standar perusahaan.

"Mereka menuntut proses di pabrik gula kita bisa menghasilkan produk standar yang mereka inginkan. Tapi mereka mau bantu untuk meningkatkan mutu produk gula kita karena mereka belum serap produk kita," terangnya.

Namun, tambah Panggah, produksi perusahaan harus tetap berjalan sehingga pihaknya membutuhkan pasokan gula impor sesuai standar Coca Cola Indonesia.

"Tapi kebijakan (impor gula) di sini kan on-off, jadi bisa mengganggu kontinuitas suplai. Makanya mereka minta dukungan untuk suplai gula, jangan sampai tersendat," papar dia.  

Sekadar informasi, Public Affairs & Community Manager Coca Cola Indonesia, Triyono Prijosoesilo sebelumnya meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang mendukung industri minuman dalam negeri. Salah satunya penyesuaian upah minimum buruh di Indonesia yang kerap tak terkendali.

"Kenaikan upah sebenarnya wajar, tapi kan jangan bergejolak, misalnya tahun ini naik 30 persen, lalu tahun depan 40 persen. Bikin bingung," paparnya.

Pelaku usaha, dijelaskan Triyono, merasa kesulitan dalam perhitungan rencana bisnis termasuk ongkos produksi akibat ketidakpastian perhitungan upah buruh di Tanah Air.

"Jadi harus ada formula untuk menghitung upah buruh yang bisa diterapkan untuk jangka panjang. Jangan cuma tahun per tahun. Hal ini akan memudahkan pengusaha membuat satu rencana produksi yang lebih bagus," tandas dia. (Fik/Gdn)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya