Liputan6.com, Jakarta - Wanita sering dianggap makhluk lemah, namun tidak di era emansipasi ini. Kaum hawa sanggup menunjukkan talenta dan keahliannya dalam dunia kerja, hingga tak jarang duduk di level puncak sebuah korporasi.
COO Facebook sekaligus Penulis Buku "Lean-In", Sheryl Sandberg menyatakan, ketika perempuan memegang kendali di level mikro, kinerja perusahaan membaik.
Baca Juga
"Mengutip dari berbagai studi, start-up yang dipimpin perempuan lebih mungkin sukses 61 persen. Perusahaan inovatif yang punya banyak perempuan di jajaran puncak sering lebih menguntungkan," tutur dia di acara Women C Leadership Summit di Hotel Four Season, Jakarta, Selasa (9/12/2014).
Advertisement
Studi tersebut juga mengemukakan, perusahaan yang lebih unggul dalam soal keragaman gender, biasanya mencatatkan penjualan dan laba lebih besar serta pangsa pasar lebih dominan.
"Sebanyak 95 studi yang pernah saya lakukan, bisa disimpulkan dalam soal kemahiran bidang leadership, para pria sering percaya diri, tapi perempuan lebih berkompeten," ucap Sandberg.
Lembaga OECD atau The Organization for Economic of Co-operation and Development menyatakan, jika kesenjangan antara pria dan wanita dalam partisipasi di dunia kerja hilang, maka pertumbuhan gross domestik product (GDP) dunia bisa mencapai nyaris 12 persen pada 2030.
CEO Femina Group, Svida Alisjahbana menyadari, ada harga yang harus dibayar seorang perempuan jika ingin berada di puncak kepemimpinan, yakni komitmen dan pengorbanan.
"Tapi kami tidak butuh privilege, kelonggaran apalagi rasa iba. Yang kami perlukan adalah visi dan pengertian bahwa kami butuh ruang main yang lebih setara. Apalagi masyarakat masih berasumsi tanggung jawab rumah tangga atau mengasuh anak, hampir sepenuhnya kewajiban perempuan," terangnya.
Menurut survei Femina Group, ada sederet tugas yang harus diemban pekerja wanita dan eksekutif sebagai penentu perannya di masa depan dan meraih puncak :
1. Masa cuti hamil wanita harus diimbangi masa cuti pria agar mereka juga berperan dalam tugas mengurus rumah dan anak. Artinya wacana pengurangan jam kerja bagi para pekerja kantor perempuan terdengar sungguh tidak memadai dan cenderung mengukuhkan stereotipe lama.
2. Sarana daycare yang mudah diakses dari tempat kerja.
3. Sistem evaluasi kerja yang menetralisir dampak cuti yang harus diambil karena tugas penting dalam pengurusan anak dan jadwal kerja lebih fleksibel.
4. Komitmen nyata dan terukur oleh para CEO untuk menjalankan program keragaman gender dan dalam pencapaian target di mana perempuan mempunyai peran dalam posisi kepemimpinan. (Fik/Ahm)