Sentimen Global Masih Tekan Rupiah?

Menurut Ekonom BRI, Anggito Abimanyu, rupiah terus tertekan akan membuat importir rugi sehingga pengaruhi pertumbuhan ekonomi.

oleh Agustina Melani diperbarui 22 Feb 2015, 20:00 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2015, 20:00 WIB
Ilustrasi Rupiah
Ilustrasi Rupiah (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menembus rekor baru sepanjang sejarah di level 5.400 pada perdagangan saham Jumat pekan ini. Meski demikian, rupiah kembali merosot didorong sejumlah sentimen terutama global.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) rupiah terus tertekan ke level 12.849 pada Jumat 20 Februari 2015.
Posisi ini terus tertekan sejak 17 Februari 2015 yang berada di level 12.757 per dolar Amerika Serikat (AS). Posisi rupiah sempat sentuh level 12.900 pada 16 Desember 2014. Sementara itu, nilai tukar rupiah bergerak hingga Rp 12.891 per dolar AS di pasar uang.

Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, Anggito Abimanyu menuturkan, ada sejumlah faktor rupiah terus tertekan. Faktor itu terutama dari tekanan global. Pertama, pemulihan ekonomi AS dengan data pengangguran yang membuat membuat dolar AS semakin kuat.

Kedua, sentimen penyelesaian utang Yunani. Meski, para Menteri Keuangan Eropa memutuskan untuk memperpanjang waktu pinjaman selama empat bulan bagi paket dana talangan (bailout) 172 miliar euro ke Yunani, menurut Anggito hal itu belum berdampak positif ke rupiah. Nilai tukar rupiah diprediksikan masih tertekan di kisaran 12.500.

"Rupiah masih tertekan. Yunani memiliki deadline hingga Juli untuk dana talangan.Mau pinjaman juga ada program penghematan yang belum disetujui. Selain itu, dana talangan harus dikembalikan. Nah ini kalau dikembalikan dari mana dananya?," kata Anggito.

Selain itu, sentimen dalam negeri terutama neraca transaksi berjalan, menurut Anggito juga mempengaruhi laju rupiah. Berdasarkan rilis Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan kuartal IV 2014 lebih rendah dibandingkan dengan defisit US$ 7 miliar (2,99 persen dari produk domestik bruto) pada kuartal III 2014. Namun defisit transaksi berjalan triwulan IV lebih besar dibandingkan dengan defisit sebesar US$ 4,3 miliar (2,05 persen PDB) pada periode 2013 karena melemahnya kinerja ekspor non migas.

Anggito mengatakan, rupiah kembali melemah ini masih wajar. Hal itu mengingat ekonomi Indonesia masih baik dengan ada perbaikan di neraca perdagangan. Meski demikian, importir memang dirugikan dengan rupiah melemah, sisi lain eksportir diuntungkan.

"Kalau rupiah lama-lama terus tertekan maka importir yang rugi. Karena impor barang modal akan terhambat sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi," kata Anggito. (Ahm/)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya