Liputan6.com, New York - Dengan kondisi dolar Amerika Serikat yang terus melambung melampaui sebagian besar pasar mata uang global, beberapa mata uang di negara berkembang Asia kini menghadapi ancaman risiko yang lebih besar.
Rupiah merupakan salah satu mata uang yang paling berisiko terhadap kebijakan apapun yang diambil Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Baca Juga
"Ketakutan terhadap The fed kini merupakan ancaman yang terlalu besar dalam waktu dekat. Data tenaga kerja yang lebih kuat atau indikasi dari The Fed untuk menaikkan suku bunga sangat berpengaruh untuk menekan mata uang Asia ke level yang lebih rendah," menurut laporan para analis di Societe Generale seperti dikutip dari CNBC, Senin (9/3/2015).
Advertisement
Penguatan dolar AS telah terjadi sejak musim semi tahun lalu, dan mendorong mata uang tersebut ke level tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Meskipun terdapat sejumlah data ekonomi AS yang lemah, The Fed telah secara luas menyebarkan sinyal bahwa pihaknya akan menaikkan sukub bunga pada Juni dan Oktober.
Di Asia, beberapa mata uang tercatat lebih rentan dibandingkan yang lain. Rupiah kini berada di posisi teratas sebagai mata yang paling terancam bahaya, tapi investor kini masih perlu memperhatikan pergerakan dolar Taiwan.
Di Indonesia, euforia pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu sempat membuat rupiah pulih. Tapi momen itu terhapus seiring dengan keputusan Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga secara mengejutkan pada pertengahan Februari.
BI memprediksi harga minyak murah dapat meredakan inflasi memberikan kekhawatiran bahwa pemangkasan lebih lanjut akan terjadi. Rupiah tercatat merosot sekitar 1,8 persen setelah kebijakan itu diambil.
"Kejutan BI baru-baru ini dan kenyamanannya melanjutkan pelemahan rupiah tampak tak suportif lagi," terang para analis Barclays.
Pakar strategi pasar negara berkembang di Societe General Jason Dow mengatakan, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rentan terhadap aliran dana asing karena kini berada di tengah limpahan dana masuk.
Kekhawatiran terhadap defisit transaksi berjalan merupakan salah satu faktor lain. Defisit yang terlalu lebar pernah membuat rupiah terkulai pada 2013 saat The Fed mengumumkan gagasan penarikkan dana stimulus untuk pertama kalinya.
Saat ini meski defisit telah berkurang, tapi jika The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya, rupiah dapat terkena hantaman lagi yang tak kalah besar."Aksi The Fed pada Juni nanti dapat menjadi hantaman besar lain bagi rupiah," tandasnya. (