Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengenaan bea materai pada transaksi belanja minimal Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta ditolak pengusaha ritel. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengkritisi penolakan tersebut.
Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Wahju K Tumakaka menjelaskan, revisi Undang-undang (UU) di penyusunan prioritas utama Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 masih dalam pembahasan.
"Bea materai baru rencana saja sudah ribut. Itu yang keberatan bukan rakyat kecil, tapi orang-orang cerdas, pintar dan berpendidikan tinggi," sindir dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (29/3/2015).
Wahju berpendapat, rencana penerapan pajak materai untuk transaksi nominal belanja di atas Rp 250 ribu sangat relevan dengan perkembangan nilai tukar rupiah saat ini. Lanjutnya, bea materai sudah diberlakukan pada era 1980-an atau zaman Belanda. Saat itu, diperuntukkan transaksi belanja senilai Rp 100 ribu yang dianggap besar kala itu.
"Sekarang orang makan berdua di restoran saja sudah lebih dari Rp 100 ribu. Kalau dalam kondisi nilai tukar rupiah sekarang dan masih pakai nilai materai 1980-an ya tidak sesuai. Jadi harus disesuaikan," tegas dia.
Sejak zaman kolonial, katanya, bea materai dikenakan pada penanda atau dokumen sebagai sebuah bentuk legalitas. Hal itu berlaku pula pada struk belanja. Struk belanja dianggap dokumen penting.
Wahju menyebut, ada banyak cara untuk menerapkan bea materai pada transaksi belanja ritel sesuai perkembangan teknologi. Salah satunya melalui mesin tera materai digital. Namun banyak pengusaha ritel yang tidak melaksanakannya.
"Mereka (pengusaha ritel) menolak, tidak melaksanakan karena tidak mau repot. Itu persoalannya. Lagian yang bayar bea materai kan konsumen dan sampai sekarang faktanya tidak ada yang menerapkan bea materai di transaksi belanja," cetusnya.
Sebelumnya, Pengusaha ritel menentang kebijakan pemungutan bea meterai pada transaksi belanja di toko ritel. Pasalnya tidak ada satu pun negara yang mengenakan pajak bea meterai dalam struk belanja konsumen.
"Kebijakan ngawur, tentu kami menolak karena tidak ada negara manapun mengenakan biaya bea meterai pada transaksi belanja," ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Pudjianto kepada Liputan6.com.
Menurut Pudjianto, transaksi belanja konsumen sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Pada jenis ritel tertentu, ada pajak servis 1 persen.
Bea materai, sambung Pudjianto, selama ini hanya digunakan untuk dokumen penting bersifat perjanjian yang mengikat hukum. Sementara struk belanja tidak perlu memakai kuitansi maupun bea meterai atau dipungut pajak bea meterai.
"Ditjen Pajak jangan terus berburu di kebun binatang, harusnya berburu di hutan yang masih banyak belum bayar pajak. Jangan cuma anggota Aprindo yang disisir pajak terus," keluh Pudjianto. (Fik/Gdn)
Ditjen Pajak Sindir Pengusaha yang Tolak Pajak Materai di Struk
Penerapan pajak materai untuk transaksi nominal belanja di atas Rp 250 ribu sangat relevan dengan perkembangan nilai tukar rupiah.
diperbarui 29 Mar 2015, 08:54 WIBDiterbitkan 29 Mar 2015, 08:54 WIB
Advertisement
Video Pilihan Hari Ini
Video Terkini
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Pembangkit Terapung jadi Andalah Pemenuhan Kebutuhan Listrik Maluku saat Natal dan Tahun Baru
Saksikan Live Streaming Liga Inggris Tottenham vs Liverpool di Vidio, Segera Dimulai
Angkutan Nataru, KAI Divre IV Tanjungkarang Tambah 8.424 Kursi
6 Fakta Terkait DPP PDIP Ungkap Ada Upaya Ganggu Stabilitas Internal Partai Jelang Kongres, Siap Melawan
Proyek Infrastruktur jadi Pendorong Pertumbuhan Properti
Hasil Liga Inggris Manchester United vs Bournemouth: Petir Menyambar 2 Kali di Old Trafford, Setan Merah Kembali Malu
Pantauan Arus Puncak Mudik Nataru 2025 di Pelabuhan Bakauheni, Masih Lengang
Bangkitkan Ekonomi Keluarga, Peran Ibu PNM Mekaar Lebih dari Pahlawan Rumah Tangga
Peringati Hari Ibu, Ini Potret Widiyanti Putri Wardhana dan Ibunda yang Ternyata Pelukis Ternama
Lukisan Yos Suprapto Disebut Baru Dipermasalahkan Jelang Dipamerkan ke Publik
Tidak Mengenakan Jilbab di Hadapan Wanita Nonmuslim, Bagaimana Hukumnya?
Arus Lalu Lintas Tol Jagorawi Arah Jakarta Sudah Normal, Contraflow Ditutup