Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir telah melakukan diskusi dengan pihak perbankan mengenai biaya pembayaran listrik prabayar atau yang dikenal dengan token pulsa.
Sofyan mengakui, akibat pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli pada pekan lalu soal adanya mafia token listrik, PLN kini harus mengevaluasi seluruh biaya yang dikenakan kepada pelanggan saat membeli token pulsa untuk listrik prabayar.
"Kami diskusi dengan perbankan untuk turunkan biaya administrasinya," ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (17/9/2015) malam.
Namun Sofyan menyebut pihak perbankan sendiri menyatakan bahwa sebenarnya mereka tidak mengambil banyak biaya administrasi saat transaksi pembelian token. Menurut bank, yang mendapatkan jatah paling besar justru agen-agen pembayaran atau payment point online bank (PPOB) di lapangan.
"Tapi bank ambil hanya Rp 400 dari Rp 2.000 itu (biaya administrasi), yang banyak di PPOB. Jadi masyarakat yang simpan (bayar) di dia (PPOB) dan dia yang simpan uang di bank," jelasnya.
Menurut Sofyan, PPOB ini merupakan masyarakat umum yang menjadi agen-agen bank di lapangan, bisa berupa orang yang buka kios, ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW) dan lain-lain. "Mereka juga sebenarnya bukan orang kaya, tapi masyarakat kecil," tandasnya.
Sebelumnya, Rizal Ramli meminta kepada Direktur Utama PLN Sofyan Basyir untuk mengeksekusi dua hal. Yakni, memberantas monopoli listrik di PLN serta menetapkan biaya administrasi maksimal sehingga tidak ada permainan harga dari mafia token listrik.
Rizal Ramli membeberkan permainan monopoli di lingkungan PLN yang mewajibkan penggunaan pulsa listrik bagi masyarakat. Hal ini terjadi sejak dulu sampai sekarang. "Ada yang main monopoli di PLN, itu kejam sekali. Karena ada keluarga yang anaknya masih belajar jam 8 malam, tiba-tiba pulsa habis. Mencari pulsa listrik tidak semudah mencari pulsa telepon," tutur dia.
Setelah memperoleh pulsa listrik, kata Rizal, masyarakat hanya mendapatkan jatah token senilai Rp 73 ribu dari harga token yang harus dibayar Rp 100 ribu.
"Artinya 27 persen disedot provider setengah mafia. Mereka mengambil untung besar sekali. Padahal pulsa telepon saja kalau beli Rp 100 ribu, cuma bayar Rp 95 ribu. Itu kan uang muka, provider bisa taruh uang muka di bank lalu dapat bunga," tegas dia.
Atas dasar itu, dirinya meminta agar PLN memberantas praktik monopoli ini dengan memberikan pilihan kepada pelanggan atau masyarakat, apakah ingin menggunakan meteran listrik atau pulsa listrik.
"Lalu yang kami minta lagi, kalau harga pulsa Rp 100 ribu, maka masyarakat bisa beli listrik Rp 95 ribu. Ada maksimum biaya Rp 5 ribu. Ini akan menolong rakyat kita, jadi tolong dilakukan Pak Sofyan," perintah Rizal. (Dny/Gdn)