Meski Tergerus, Menkeu Sebut Cadangan Devisa RI Masih Aman

Cadangan devisa Indonesia tergerus lagi sekira US$ 2 miliar menjadi US$ 103 miliar.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 22 Sep 2015, 14:45 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2015, 14:45 WIB
Serba Putih di Rapat Terbatas Ekonomi
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (kiri) saat konferensi pers usai mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (30/10/2014). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia terus merosot. Hingga hari ini, cadev tergerus lagi sekira US$ 2 miliar menjadi US$ 103 miliar. Sementara posisi pada akhir Agustus lalu, cadev Indonesia sebesar US$ 105,3 miliar.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro memastikan meski turun, cadev Indonesia masih dalam kategori aman.

"Tidak kritis. Cuman kan istilahnya lebih banyak lebih baik. Kalau punya dompet tebal kan lebih enak daripada dompet kering. Kantong kering. Kita intinya bagaimana mempertebal dompet kita itu," kata Bambang, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (22/9/2015).

Hal ini disampaikan usai Bambang menggelar rapat bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad.

Bambang juga mengatakan cadev saat ini setara pula dengan melakukan impor selama 6 bulan. Meski demikian, pemerintah tetap menyiapkan sejumlah langkah untuk menambah cadev.

‎"Intinya Pak Wapres ingin mendorong devisa itu lebih banyak ada di indonesia sehingga mulai berpikir bagaimana ‎caranya," ujar dia.

"Mempersiapkan instrumen untuk mendorong devisa lebih banyak dan lebih lama tinggal di Indonesia," tambah Bambang.

Bambang menuturkan instrumen untuk menambah cadev masih disusun. Namun, instrumen itu akan bekerja untuk meningkatkan ekspor. Kemudian, hasil ekspor masuk ke dalam sistem perbankan Indonesia.

Bila sudah masuk dalam sistem perbankan, maka pemerintah berusaha sekuat tenaga agar dana yang memakai mata uang dolar AS itu tidak keluar lagi.

"‎Kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mendorong devisa lebih banyak ada di Indonesia, sehingga otomatis suplai dollar juga menjadi lebih banyak. Kalau suplai dolar lebih banyak mudah-mudahan rupiah tidak volatile kalau ada goncangan eksternal," tegas Bambang.

Sebelumnya, ‎turunnya cadev Indonesia disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo saat Rapat Kerja Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 di Gedung DPR, Jakarta, Senin 21 September lalu.

"Posisi cadev US$ 103 miliar per hari ini. Tapi masih bergerak dinamis, belum fixed. Masih ada penerimaan ekspor, masih akan ada pembayaran utang dan lainnya," ujar Agus.

Menurut Mantan Menteri Keuangan itu, permintaan dolar Amerika Serikat (AS) dari pihak swasta masih cukup tinggi untuk membayar utang di periode semester II 2015 mengingat pinjaman luar negeri terus meningkat sejak 2011.

"Memang utang luar negeri jatuh tempo di kuartal III ini cukup banyak. Itu swasta ya, bukan pemerintah," kata Agus tanpa menjelaskan lebih detail apakah cadev digunakan untuk intervensi kurs rupiah.

BI mencatat cadangan devisa Indonesia susut US$ 2,3 miliar menjadi US$ 105,3 miliar pada akhir Agustus 2015 dari posisi akhir Juli 2015 sebesar US$ 107,6 miliar.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara menuturkan perkembangan cadangan devisa itu disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.

Hal itu sejalan dengan komitmen Bank Indonesia yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah guna mendukung terjaganya stabilitas ekonomi dan sistem keuangan.

Di sisi lain, kenaikan penerimaan devisa yang terutama bersumber dari penerbitan samurai bonds pemerintah mampu menahan penurunan lebih lanjut.

"Dengan perkembangan itu, posisi cadangan devisa per akhir Agustus 2015 masih cukup membiayai 7,1 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," kata Tirta.‎ (Alvin/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya