Petani Sawit Jadi Korban Terparah Kebakaran Hutan

Kebakaran lahan dan hutan disebabkan akumulasi sejumlah faktor, antara lain regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara dibakar.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 13 Okt 2015, 17:30 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2015, 17:30 WIB
20150901-Kelapa Sawit
Kelapa sawit (AFP PHOTO/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit menyatakan banyak petani kelapa sawit adalah korban terparah dalam kebakaran hutan yang terjadi dua bulan belakangan ini. Alasannya, rumah para petani sawit selalu di dekat dengan perkebunan.

Direktur Utama BPDP Sawit, Bayu Krisnamurthi mengatakan, semua pihak prihatin atas terjadinya bencana kebakaran tersebut, dan lembaganya tidak bisa menuding pihak yang membuat kebakaran tersebut.

"Kami tidak ingin terlibat kontroversi siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa yang melakukan kebakaran hutan. Namun sudah tentu dengan kejadian tersebut semua prihatin," kata Bayu, di Kantor BPDP, Jakarta, Selasa (13/10/2015).

Ia melanjutkan, pihak yang paling banyak terdampak kebakaran hutan adalah masyarakat yang menjadi petani sawit. Pasalnya, pemukiman para petani tersebut berdekatan dengan titik kebakaran. "Sangat banyak petani sawit justru jadi korban paling berat," ungkap Bayu.

Menurut Bayu, kebakaran hutan telah merugikan banyak pihak, karena itu lembaganya yang terkait dengan komoditas sawit akan mengeluarkan langkah antisipasi agar kedepannya kebakaran hutan tidak terjadi lagi.

"Ini merugikan kita semua. Kami ambil sikap kalau salah silahkan ditindak, dari kami memaksimalkan usaha agar tahun depan tidak berulang lagi," pungkasnya.

Sebelumnya, para pengusaha sawit enggan disalahkan atas kasus kebakaran lahan dan hutan. Karena itu, sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk menerapkan pembuktian menyeluruh ketika menetapkan sejumlah perusahaan sawit menjadi tersangka kasus kebakaran lahan.

Direktur Eksektutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengatakan, kebakaran lahan dan hutan disebabkan akumulasi sejumlah faktor, antara lain regulasi yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara dibakar, masalah dalam tata kelola hutan negara, serta dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan.

"Setidaknya ada dua regulasi yang tidak relevan lagi, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan," ujarnya.

Menurut dia, kedua aturan tersebut harus direvisi agar pencegahan kebakaran hutan menjadi efektif dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Dengan adanya UU No 32 tahun 2009, warga diperbolehkan membakar lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare.

"Ini kan keliru, peraturan ini yang menjadi salah satu faktor pemicu utama kebakaran lahan saat ini," paparnya.

Tungkot menilai, asap hasil kebakaran hutan dan lahan dapat menurunkan produktivitas kebun sawit. "Jadi sangat bodoh jika perusahaan sawit sengaja membakar untuk membuka lahan. Kerugiannya lebih besar," ucapnya.

Lebih lanjut Tungkot meminta Presiden dan Menteri terkait untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif terkait penetapan tersangka sejumlah perusahaan sawit yang diduga sebagai pemicu kebakaran lahan.

"Harus dibuktikan dalam proses yang benar, apakah perusahaan sawit itu jadi pelaku atau korban kebakaran," ujarnya. (Pew/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya