Liputan6.com, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil, Publish What You Pay Indonesia mendesak pemerintah untuk segera menindaklanjuti hasil temuan audit atas anak usaha PT Pertamina (Persero), yaitu Pertamina Energi Trading Ltd (Petral) ke ranah hukum. PWYP Indonesia juga meminta agar laporan hasil audit itu dapat dibuka kepada publik, agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran informasi.
Ketua Dewan Pengarah PWYP Indonesia sekaligus Direktur Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa mengatakan, Pemerintahan Jokowi seharusnya bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut, termasuk menghitung aspek kerugian negaranya.
"Selain itu, Dirut Pertamina agar mengaktifkan satuan pengawas intern Pertamina untuk melakukan investigasi internal guna mengidentifikasi pihak pihak di dalam Pertamina yang kemungkinan terlibat," tegas Fabby seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Minggu (15/11/2015).
Baca Juga
Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah menambahkan, sangat penting hasil audit Petral untuk dibuka ke publik sebagai komitmen pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor industri Migas.
Hitungan nilai kerugian negara dan analisis lanjut dari hasil audit dapat membantu Pemerintah dalam memperbaiki mekanisme pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM dalam negeri. Mekanisme ini harus dibuat lebih transparan agar publik dapat turut mengontrol.
"Karena dengan adanya transparansi di rantai pengadaan crude oil ini, kerugian negara dapat dicegah, efisiensi dapat ditingkatkan, dan ujung-ujungnya akan menguntungkan publik/masyarakat sebagai konsumen BBM. Perbaikan sistem pengadaan minyak mentah melalui ISC yang ada saat ini juga harus terus ditingkatkan kinerja dan transparansinya kepada public," tutur Maryati.
Seperti diketahui, hasil audit forensik terhadap Petral menyebutkan terjadinya ketidakwajaran dalam pengadaan minyak mentah pada 2012 hingga 2014.
Berdasarkan temuan lembaga auditor Kordha Mentha, jaringan mafia minyak dan gas (migas) telah menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. (Gdn/Ndw)