BI Sebut Rencana Kenaikan Suku Bunga The Fed Jadi Ajang Spekulasi

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menuturkan Indonesia perlu cari pendanaan dari luar negeri untuk tutupi defisit.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Nov 2015, 18:27 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2015, 18:27 WIB
20151104-Bahas-Bank-Indonesia
Bank Inodnesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi dunia sedang diliputi awan mendung karena ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate). Rencana aksi dari Bank Sentral AS yang dikomandoi Janet Yellen selama ini menjadi isu yang "digoreng" investor maupun pemilik modal besar.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengungkapkan, gonjang ganjing kenaikan Fed Fund Rate telah terjadi sejak dua tahun lalu dan kini masyarakat dunia sudah semakin dekat dengan penyesuaian kebijakan tersebut.

"Apa yang membuat negara-negara berkembang agak gloomy? Karena Fed Fund Rate akan naik, perekonomian China masih melambat. Hal ini mempengaruhi persepsi pasar yang cepat sekali berubah," ujar Mirza saat ditemui di Jakarta, Kamis (19/11/2015).

Pada Oktober 2015, sambung Mirza, rupiah mengalami penguatan dari level Rp 14.700 ke Rp 13.500 per dolar AS lantaran suku bunga The Federal Reserves tertunda naik. Namun kini AS mengumumkan kenaikan Fed Fund Rate pada Desember ini paling tinggi 0,25 persen.

"Kenaikan Fed Fund Rate paling ditunggu karena 0,25 persen ini adalah rate yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Jadi kenaikan ini yang digoreng-goreng, sehingga kalau nanti sudah benar naik di Desember, ketidakpastian akan lewat," terang Mirza.

Ia menjelaskan, negara berkembang akan dibuat repot apabila negara AS, Eropa, Jepang menaikkan tingkat suku bunganya.

"Tapi Jepang dan Eropa masih melonggarkan kebijakan, jadi kita tidak harus khawatir kalau tiba-tiba Euro menguat," kata Mirza.

Di sisi dalam negeri, Mirza mengklaim, data ekonomi makro Indonesia terus membaik. Tercatat defisit ekspor impor sudah menurun 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Inflasi diperkirakan mencapai di bawah 3,5 persen atau di bawah 3 persen.

"Tapi kita masih harus mencari pendanaan dari luar negeri untuk menutup defisit ini dengan aliran modal masuk di portofolio maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Jika tidak, maka akan menggerus cadangan devisa," jelas dia.

Ia berharap, seluruh pihak dapat memandang Indonesia lebih optimistis menyongsong tahun depan. Akan tetapi, Bank Indonesia, pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih perlu waspada dengan kondisi ketidakpastian tersebut.

"Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang baik, misalnya membebaskan visa bagi 90 negara karena akan menyumbang devisa besar. Kebijakan deregulasi, insentif Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan diskon pajak lain. Jadi kebijakan ini jangan dikritik dulu, kita lihat nanti hasilnya," harap Mirza. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya