Liputan6.com, Jakarta - Puluhan ribu buruh akan kembali melakukan aksi mogok nasional pada 10 Desember 2015. Aksi mogok tersebut dilakukan untuk memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kami akan lakukan aksi besar pada 10 Desember yang merupakan hari HAM, serempak di seluruh Indonesia," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, seperti ditulis Jumat (27/11/2015).
Said mengungkapkan tuntutan yang diajukan dalam aksi mogok nasional pada 10 Desember tersebut sama dengan tuntutan pada aksi mogok di 24-27 November 2015, yaitu pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang berisi tentang formula pengupahan inflasi plus pertumbuhan ekonomi.
"Jadi di hari HAM kami tetap menyerukan tuntutan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78. Aksi mogok ini akan dilakukan di berbagai daerah," katanya.
Baca Juga
Terkait dengan aksi mogok massal pada 27 November 2015, Iqbal melanjutkan, aksi akan dilakukan oleh serikat buruh pada masing-masing daerah dan lokasi yang telah ditetapkan.
"Aksi selanjutnya kita akan lanjutkan mogok nasional, tapi ditentukan daerah masing-masing. Ada di kawasan industri untuk Jakarta, kantor bupati, dan gubernur," ucap Said.
Selain menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, buruh juga menuntut pemerintah membatalkan penerapan formula kenaikan upah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi karena hal tersebut dinilai tidak sesuai KHL.
Serikat buruh juga meminta gubernur menaikkan upah pekerja 2016 di kabupaten kota sebesar Rp 500-600 ribu atau sekitar 25 persen dari upah saat ini.
Menanggapi berbagai aksi mogok yang dilakukan oleh buruh tersebut, Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin menilai hal itu sebagai sikap egois para buruh.
Alasannya, ia menganggap buruh hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibanding nasib perusahaan yang sedang mengalami kesulitan di tengah perlambatan ekonomi nasional.
"Demo diperbolehkan untuk menyuarakan aspirasi sesuai undang-undang (UU), tapi seharusnya tidak mengganggu keberlangsungan jalannya produksi di perusahaan," ucap Saleh.
Jika perusahaan pabrik berhenti beroperasi, ia mengaku buruh yang akan menderita kerugian karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pasti tak akan terhindarkan.
Perusahaan, katanya, tentu akan memilih membayar utang perbankan dengan mengorbankan efisiensi di tenaga kerja dalam bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Jadi jangan ego yang dikedepankan. Bagaimana pun kita harus bersaing dengan negara lain yang juga mau eksis di tahun mendatang. Ekonomi kita lagi melemah, produksi menurun, jadi kita harus jaga supaya jangan sampai perusahaan stop kegiatan produksinya," ucap Saleh. (Pew/Gdn)**
Advertisement