Dana Buat Beli Saham Freeport Bisa dari Utang

Freeport ingin kegiatan operasinya diperpanjang karena sebenarnya kontrak habis pada 2041. ‎

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Jan 2016, 08:19 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2016, 08:19 WIB
PT Freeport Indonesia.
PT Freeport Indonesia (Foto: Istimewa).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang mengkaji tawaran 10,64 persen saham milik Freeport Indonesia yang nilainya mencapai US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23 triliun. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan arahan agar pengambilalihan saham melalui beberapa opsi, di mana pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa mengakuisisi saham itu.

"Saham itu harus dibeli, baik oleh BUMN, pihak swasta maupun (divestasi) lewat pasar modal. Tentu pemerintah yang akan menentukannya karena ini bukan sistem bagi hasil seperti Blok Mahakam," ujar Ketua Tim Ahli Wakil Presiden (Wapres), Sofjan Wanandi saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (20/1/2016).

Ia mengatakan, pencaplokan saham perusahaan tambang emas raksasa itu tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila lewat BUMN, maka opsi pendanaannya memungkinkan berasal dari utang.

"Tidak boleh pakai anggaran negara, karena APBN harus digunakan untuk kebutuhan yang lebih penting. Tapi kalau BUMN mengambilalih saham pakai utang, harus didiskusikan dengan Menteri BUMN," jelas Sofjan.

Menurutnya, pemerintah dapat kembali bernegosiasi dengan Freeport Indonesia apabila harga penawaran dianggap terlalu mahal. Namun untuk menentukan harga terbaik, lanjut Sofjan, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan kalkulasi, seperti aset kekayaan, untung rugi, investasi Freeport Indonesia dan sebagainya.

"Kalau memang tidak punya masa depan lagi (Freeport), ya ngapain beli dengan harga tinggi. Lebih baik buat investasi di tempat lain," tegas Mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) itu.

Namun demikian demi alasan investasi, Sofjan mengaku, pemerintah diimbau tidak mengusir Freeport Indonesia dari Negara ini. Pasalnya, anak usaha Freeport McMoran itu telah menanamkan modalnya sangat besar di Indonesia, khususnya Papua selama puluhan tahun.

"Bagaimana mau diusir, kita saja tidak punya kemampuan untuk mengusir. Mereka (Freeport) kan bayar pajak, membuka lapangan kerja buat rakyat. Investasi yang belum masuk diminta masuk, tapi yang sudah lama malah diusir," terang Sofjan.

Seperti diketahui, Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, Freeport ingin kegiatan operasinya diperpanjang karena sebenarnya kontrak habis pada 2041. ‎

Namun, karena diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang menetapkan masa kontrak habis setiap 20 tahun maka kontrak Freeport habis pada 2021. "Karena sebenarnya Kontrak karya kita habis sampai 2041," kata Riza.

‎Menurut Riza, Freeport telah melakukan perencanaan jangka panjang pengembangan yang tidak cukup waktunya untuk dilakukan sampai 2021. Untuk itu, perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut ingin kegiatan operasinya diperpanjang setelah 2021.

‎"Tapi karena UU Nomor 4 Tahun 2009 itu pemerintah hanya memberikan fasilitas sampai 2021," ungkap ‎Riza.

‎Riza menambahkan, pengembangan tambang tersebut adalah pembangunan tambang bawah tanah, yang membutuhkan investasi besar untuk merealisasikannya.

"Kalau minning planing harus panjang, kita sudah buat underground sudah kita mulai. Tapi belum optimal, tapi kita mau lebih banyak investasi lebih banyak lagi," tuturnya.

Freeport Indonesia telah memberikan kepastian investasi sebesar US$ 18 miliar untuk mengembangkan penambangan bawah tanah terbesar di dunia, ‎dengan kedalaman 1.300-3.000 kilometer (km) dan panjang 500 km. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya