Mendag Minta Pemerintah Prancis Batalkan Pajak CPO

Saat ini, sekitar 61 kota di Indonesia, termasuk kota-kota kecil, hidup dari sektor minyak kelapa sawit.

oleh Septian Deny diperbarui 05 Feb 2016, 15:18 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2016, 15:18 WIB
20151014- Ilustrasi Kelapa Sawit
Ilustrasi Kelapa Sawit

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong telah mengirimkan surat secara khusus kepada pemerintahPrancis. Surat tersebut berisi permintaan agar pemerintah Prancis membantu membatalkan rencana Parlemen Prancis memberlakukan pajak (tax) minyak kelapa sawit mulai 2017 yang dinaikkan secara progresif.

Dia mengatakan, pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen Nomor 367 seperti yang diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Prancis pada 21 Januari 2016 dianggap telah melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) Tahun 1994.

"Saya paham, ini adalah wewenang Parlemen Prancis, namun saya meminta pemerintah Prancis untuk tidak mengadopsi Amandemen Nomor 367. Sebaliknya, saya meminta Pemerintah Prancis agar dapat bekerja sama dengan Indonesia untuk mengatasi masalah yang terjadi di Prancis yang berkaitan dengan minyak kelapa sawit," ujarnya di Jakarta, Jumat (5/2/2016).

Menurut Thomas, selain melanggar prinsip perlakuan nasional dan nondiskriminasi WTO dan GATT Tahun 1994, pengenaan pajak ini juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap produk CPO, khususnya dari Indonesia.

"Hal ini akan menciptakan diskriminasi harga dan akan merugikan Indonesia. Saya kirim surat agar Pemerintah Prancis dapat membantu membatalkan rencana tersebut," katanya.

Denganpembelakuan pajak ini, lanjutThomas, maka akan membuat harga minyak kelapa sawit Indonesia tidak akan kompetitif jika dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari.

"Pada akhirnya industri makanan di Prancis dan negara-negara Uni Eropa akan mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya yang harganya lebih murah," ungkapnya.

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung, sektor kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja di Indonesia dan memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen terhadap PDB Indonesia.

Saat ini, sekitar 61 kota di Indonesia, termasuk kota-kota kecil, hidup dari sektor minyak kelapa sawit. Selain itu, pendapatan ekspor Indonesia dari komoditas ini mencapai sekitar USD 19 miliar per tahun.

"Mengingat peran strategis sektor minyak kelapa sawit dalam perekonomian, perlakuan diskriminatif di pasar ekspor akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi, sosial dan politik yang telah dibangun dan dipertahankan dengan susah payah sejak awal 2000-an," jelasnya.

Thomas menjelaskan, pada Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017, Pemerintah Prancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar EUR 300 per ton pada 2017, kemudian naik menjadi € 500 per ton pada 2018, meningkat menjadi € 700 per ton pada 2019, serta naik menjadi $ 900 per ton pada 2020.

Padahal The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Artikel III:2 telah mengatur bahwa produk impor, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dikenakan pajak internal atau biaya internal lainnya seperti produk dalam negeri.

Sementara itu, pada GATT Artikel XX memungkinkan negara anggota WTO untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman, namun penerapannya tidak boleh memberikan pembenaran terhadap diskriminasi, atau pun pembatasan perdagangan internasional.

Menurut Thomas, jika penerapan amandemen tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, langkah ini juga dinilai tidak tepat. Pasalnya Indonesia telah menerapkan kebijakan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (The Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) untuk memastikan minyak kelapa sawit diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim.

Industri minyak kelapa sawit Indonesia juga berpartisipasi dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk memastikan minyak kelapa sawit Indonesia diproduksi sesuai standar untuk keberlanjutan.


Sedangkan jika terkait dengan isu kesehatan, Thomas memastikan hal itu tidak tepat. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

"Jika ada pengaturan terkait konsumsi lemak jenuh, maka harus ditargetkan pada seluruh produk makanan yang mengandung lemak jenuh, baik minyak kelapa sawit, minyak nabati lainnya, atau lemak hewan," imbuh Mendag.

Thomas menegaskan, pemerintah akan selalu berupaya untuk melindungi akses pasar produk Indonesia. "Pemerintah Indonesia akan melakukan segala upaya untuk melindungi dan menjaga kepentingan akses pasar produk Indonesia di luar agar tidak mendapat hambatan," tandasnya. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya