Liputan6.com, Jakarta - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dibayang-bayangi kekurangan penerimaan atau shortfall hingga Rp 200 triliun apabila berjalan tanpa program pengampunan pajak atau tax amnesty. Itu artinya, tax amnesty sangat penting untuk menyelamatkan fiskal Indonesia di saat harga minyak dan komoditas anjlok.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu telah menghitung pertumbuhan penerimaan pajak yang ideal untuk tahun ini dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak tahun lalu, target pertumbuhan ekonomi dan inflasi 2016.
"Pertumbuhan yang wajar dihitung dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi (5,3 persen plus 4,7 persen), jadi 10 persen. Extra effort tahun lalu 3 persen, sehingga ada ruang pertumbuhan 13 persen," terangnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/2/2016).
Dengan menghitung 13 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 1.061 triliun, artinya target penerimaan pajak yang ideal di 2016 sekitar Rp 1.200 triliun. Sementara target di APBN 2016 dipatok Rp 1.360,2 triliun.
Baca Juga
Baca Juga
"Dalam revisi ABN 2016 nanti, kita akan buat target serealistis mungkin, karena dari angka pertumbuhan 13 persen, masih ada shortfall Rp 200 triliun (di luar PPh Migas dan PNBP). Potensinya bisa bertambah karena ada pengurangan penerimaan di sektor migas," jelas Bambang.
Lebih jauh diakuinya, perhitungan penerimaan pajak tersebut belum dapat secara spesifik disampaikan mengingat pemerintah harus melihat angka secara akurat setelah pengampunan pajak berjalan. Saat ini, pemerintah sudah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Tax Amnesty guna mendongkrak penerimaan negara lebih besar.
"Pengajuan APBN-P terutama penerimaan pajak akan disinkronkan dari UU Tax Amnesty. Disetujui dulu pemerintah dan DPR, lalu dilihat implementasinya 2-3 bulan pertama. Tapi saya belum bisa perkirakan penerimaan pajak dari tax amnesty," tutur Bambang.
Sambungnya, pengampunan pajak diberikan bagi warga Indonesia yang mendeklarasikan harta kekayaannya di luar negeri, serta membawa pulang dananya untuk diparkir di Indonesia. "Tidak ada unsur mengampuni kesalahan pelanggaran untuk mendapatkan uang tersebut. Fokus kita apakah sudah dilaporkan atau belum (uang warga RI di luar negeri)," cetus Bambang.
Menurutnya, sekarang ini perekonomian dunia sedang mengalami perlambatan. Kondisi tersebut diperparah dengan anjloknya harga minyak dunia yang menyusutkan penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas.
"Pada 2014, penerimaan migas menyumbang 20 persen dari total penerimaan negara. Tapi porsinya tinggal 10 persen pada 2015. Jadi yang menggantikan adalah pajak, walaupun kami berusaha bagaimana caranya memungut pajak tanpa harus mengganggu pertumbuhan ekonomi," kata Bambang. (Fik/Ndw)
Advertisement