Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) telah menjadi sorotan sejak 2015. Dengan langkah bank sentral AS atau the Federal Reserve menaikkan suku bunga sekitar 0,25 persen-0,50 persen pada Desember 2015 telah memberikan kepastian pelaku pasar keuangan global dan bank sentral negara lainnya.
Berbeda dengan the Federal Reserve menaikkan suku bunga, bank sentral di negara lain justru menempatkan suku bunga hingga negatif. Bank sentral Eropa telah menempatkan suku bunga negatif. Langkah tersebut juga diikuti dengan Jepang yang menetapkan -0,1 persen untuk pertama kalinya. Kebijakan bank sentral itu untuk menjaga ekonominya.
Lain lagi dengan India. Bank sentral India telah menurunkan suku bunga sejak September 2015. Suku bunga bank sentral India turun menjadi 6,75 persen. Langkah ini dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Lalu bagaimana dengan Bank Indonesia (BI)? Setelah suku bunga acuan/BI Rate berada di level 7,5 persen sejak 17 Februari 2015, akhirnya BI menurunkan BI Rate 25 basis poin menjadi 7,25 persen pada 14 Januari 2016. Penurunan tersebut dilakukan BI seiring ekonomi dan inflasi terkendali di awal 2016.
BI pun memberikan sinyal BI Rate dapat kembali turun pada Februari 2016. Hal itu pun terbukti. BI kembali turunkan BI Rate menjadi 7 persen dari hasil Rapat Dewan Gubernur pada 17-18 Februari 2016.
Lalu apa yang mendorong BI kembali menurunkan suku bunga? Apa harapan pemerintah terhadap BI Rate pada 2016? Bagaimana BI memandang pertumbuhan ekonomi pada tahun ini? Berikut ulasannya.
Alasan BI Rate Kembali Turun
Gubernur BI Agus Martowardojo memutuskan menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7 persen dari sebelumnya 7,25 persen. Suku bunga deposit facility juga turun jadi lima persen dan lending facility pada level 7,5 persen.
BI juga menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) primer untuk mata uang rupiah sekitar 1 persen dari 7,5 persen ke 6,5 persen. GWM primer turun mulai berlaku pada 16 Maret 2016.
Agus mengatakan, keputusan BI tersebut melihat ruang pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makro ekonomi. BI juga mempertimbangkan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global setelah kenaikan Fed-Fund Rate (FFR) atau suku bunga the Federal Reserve.
BI Rate turun tersebut sesuai prediksi ekonom. Hal itu mengingat inflasi relatif stabil. Laju inflasi sebesar 0,51 persen pada Januari 2016 atau lebih rendah dibandingkan Desember 2015 yang sebesar 0,96 persen dengan inflasi tahun kalender mencapai 0,51 persen. Tingkat inflasi tahun ke tahun (Januari 2016 terhadap Januari 2015) sebesar 4,14 persen.
Director for Investor Relation Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, saat ini inflasi sudah cukup melambat jadi terkendali. "Selain itu, kredit juga melambat sehingga bank butuh likuiditas," kata Budi.
Ia mengatakan, kestabilan rupiah bahkan cenderung menguat juga menjadi faktor utama untuk menurunkan suku bunga. Dengan BI Rate turun diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Advertisement
Suku Bunga Diminta Kembali Turun
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengharapkan BI Rate dapat kembali turun ke level yang lebih rendah. Ia mengharapkan suku bunga acuan di Indonesia sama dengan negara lain di Asia.
"Harus sama dengan rata-rata kredit yang diberikan bank-bank di Asia yaitu lima hingga enam persen. Kita ketinggian, kita harus turunkan lagi," ujar JK, di kantor Wakil Presiden, Kamis 18 Februari 2016.
JK juga menampik ada campur tangan dirinya untuk menurunkan BI Rate pada Kamis pekan ini. Keputusan menurunkan BI Rate tersebut membuktikan BI mendengarkan dan menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah.
"Kita tidak mencampuri urusan kapan turunnya. Jangan lupa Undang-undang BI berbunyi kalau BI harus mendengarkan kebijakan umum perekonomian pemerintah, tidak berarti independen mau-maunya saja," kata JK.
Optimistis Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
BI melonggarkan kebijakan GWM primer untuk mata uang rupiah sebesar 1 persen menjadi 6,5 persen untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, kelonggaran GWM primer dapat menambah likuiditas di industri perbankan sehingga mendongkrak pendanaan untuk kredit.
"Terkait dengan GWM primer yang kita turunkan, paling tidak berdasarkan kajian kita menambah likuiditas sebesar 34 triliun ke pasar," kata Agus.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, ada kelonggaran GWM primer itu diharapkan dapat mempercepat dampaknya terhadap upaya peningkatan ekonomi Indonesia.
"Kalau penurunan bunga saja akan perlu waktu, dengan penambahan likuiditas GWM primer ini maka transmisi kebijakan moneter akan lebih cepat," tutur Perry.
Dengan melihat kondisi itu, BI kembali merevisi target peningkatan penyaluran kredit dari 12,5 persen menjadi 14 persen sepanjang 2016.
Tak hanya BI berupaya menggenjot penyaluran kredit. Pemerintah pun akan membentuk tim khusus yang mengurus soal suku bunga bank. Tim ini akan berkoordinasi dengan BI, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kita akan membentuk tim untuk follow up ini, soal berapa bunganya nanti kita bilang, tapi arahnya ini akan bisa cepat turun," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Darmin menuturkan, suku bunga bank yang diturunkan tidak akan jauh di bawah angka inflasi.
"Sekarang tingkat bunga deposito secara umum 7-8 persen. Nah itu biasa mereka ada minta di atas itu. Tak berarti korupsi. Ini urusan sah-sah saja," kata Darmin.
Ada kelonggaran kebijakan moneter itu diharapkan dapat membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4 persen pada 2016 dari target sebelumnya 5,3 persen.
Sejumlah faktor membuat BI optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi. Faktor fundamental dan gejolak ekonomi global yang mulai mereda dapat membantu pertumbuhan ekonomi.
"Respons kebijakan fiskal dan makro prudensial ditambah dengan diperlonggarnya GWM primer akan turut memperbaiki prospek pertumbuhan ekonomi kita," kata Perry.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tak lepas dari pengaruh eksternal terdiri atas ekonomi China melambat, kelanjutan dana murah di Eropa dan Jepang menerapkan suku bunga negatif. (Ahm/Gdn)