Jurus Pemerintah Kejar Penerimaan Pajak

Pemerintah menargetkan penerimaan pajak di 2016 mencapai Rp 1.360 triliun.

oleh Arthur GideonSeptian DenyFiki Ariyanti diperbarui 28 Mar 2016, 21:15 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2016, 21:15 WIB
20160311-Pajak 2016-Jakarta-Angga Yuniar
Masyarakat melakukan pendaftaran aktivasi pajak online di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Jumat (11/3). Realiasasi penerimaan pajak Januari-Februari 2016 baru mencapai Rp122,4 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menargetkan penerimaan pajak di 2016 mencapai Rp 1.360 triliun. Target tersebut cukup tinggi jika dibanding dengan realisasi penerimaan pajak pada tahun lalu yang tercatat Rp 1.060 triliun.

Di bawah kepemimpinan Ken Dwijugiasteadi, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan berusaha keras agar target penerimaan pajak tersebut tercapai. Meskipun dipandang beberapa pengamat target tersebut terlampau tinggi, Ditjen Pajak tetap berupaya semaksimal mungkin agar target tersebut bisa tercapai.

Berbagai program pun dijalankan oleh Dirjen Pajak. Selain itu, beberapa rencana pengenaan pajak baru pada tahun lalu kembali digulirkan pada tahun ini.

Salah satu program Dirjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak adalah menambah personel. Pada Senin (28/3/2016), Ken melantik 643 tenaga fungsional pemeriksa pajak di lingkungan Kantor Pusat dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta.

"Kami melantik 643 pemeriksa pajak secara serentak. Mereka akan melakukan pekerjaan penting ini di tahun penegakan hukum dan ekstensifikasi," kata Ken saat Konferensi Pers di kantornya.

Ia mengakui, fungsi tenaga pemeriksa pajak ini bukan sekadar memeriksa secara detail setiap laporan pajak dari Wajib Pajak, tapi juga melakukan ekstensifikasi atau perluasan pajak.

"Diharapkan para tenaga fungsional pemeriksa pajak dapat bekerja keras dan profesional, serta menjaga integritas dalam melaksanakan pemeriksaan kepada Wajib Pajak karena target penerimaan pajak mencapai Rp 1.360 triliun," jelas dia.

Kejar pengemplang
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)
Selain menambah personel, program lain yang juga dilakukan oleh Ditjen Pajak adalah mengejar para pengemplang pajak.

Ditjen Pajak menyatakan sebanyak 2.000 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25 dan Pasal 29 karena alasan merugi. Perusahaan asing tersebut menggunakan tiga modus utama supaya bisa mangkir dari kewajiban menyetor pajak di Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi saat Konferensi Pers Pelantikan Pemeriksa Pajak mengungkapkan, 2.000 perusahaan tersebut merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang ditangani Kantor Wilayah (Kanwil) Pajak Khusus.

"Yang dimaksud tidak membayar pajak adalah mereka tidak membayar PPh Badan Pasal 25 dan 29 karena merugi terus-menerus. Tapi perusahaannya masih eksis," kata Ken.

DJP akan menelusuri lebih dalam terkait kebenaran hal tersebut. Menurut Ken, sebanyak 2.000 perusahaan multinasional mengemplang pajak PPh Badan 25 dan 29. Sementara pajak lainnya, diakui Ken, perusahaan asing tersebut memenuhi kewajiban.

Sedangkan tiga modus yang dilakukan adalah, pertama, perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi yang induk perusahaannya berada di luar negeri sehingga sangat rawan terjadi proses transfer pricing. Ditjen Pajak mempertanyakan pembayaran royalti yang tetap disetorkan anak usahanya di Indonesia kepada induk perusahaannya.

Kedua, ribuan perusahaan multinasional itu merugi karena banyak perusahaan tersebut mendapatkan fasilitas insentif pajak, seperti tax holiday dan tax allowance saat pengajuan izin ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada waktu pengajuan pengaduan, perusahaan ini kerap meninggikan biaya pembelian barang modalnya.

Ketiga, diakui Mekar, perusahaan itu sering berganti nama. Tujuannya untuk mendapatkan kembali insentif pajak dan akhirnya perusahaan tersebut bisa menjadi rugi lagi.

Naikkan tarif pajak

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)
Dirjen Pajak juga tengah mengkaji kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk hasil tembakau atau rokok hingga mencapai 10 persen pada 2019. Rencananya penetapan tarif tersebut dilakukan secara bertahap.

Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, Irawan mengatakan, Kemenkeu masih pikir-pikir memungut kenaikan tarif PPN rokok pada 2017, mengingat tahun ini sudah diberlakukan penyesuaian tarif menjadi 8,7 persen mulai 1 Januari 2016. Sebelumnya pemerintah mengenakan tarif PPN rokok 8,4 persen.

"Tahun depan belum (dinaikkan). Nanti kita evaluasi kalau 8,7 persen berjalan dengan baik, kita akan ubah (tarifnya)," tegas Irawan.

Ke depan, sambungnya, DJP menargetkan normalisasi tarif PPN produk hasil tembakau sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan pajak. Unit Eselon I Kemenkeu ini pernah menyebut tarif PPN tembakau yang ideal adalah sebesar 9,1 persen atau mendekati tarif murni objek PPN 10 persen.

Lanjutkan rencana awal
Pemandangan arus balik di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta-Serpong, Minggu (27/3). Kepadatan tersebut didominasi oleh kendaraan pribadi. (Liputan6.com/Fery Pradolo)
Dirjen Pajak juga akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jalan tol untuk kendaraan pribadi golongan I sebesar 10 persen pada 2016 ini. Peraturan Pemerintah (PP) terkait kebijakan tersebut rencananya bakal terbit di pertengahan tahun ini.

Irawan mengatakan, PP yang mengatur pengenaan pajak jalan tol sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). "PP sudah proses pemarafan," tegasnya.

Dengan begitu, ia berharap, PP tersebut akan terbit pada semester I 2016. Kebijakan pungutan PPN 10 persen ini mundur dari rencana awal. Semula, aturan ini diharapkan bisa mulai diberlakukan pada 1 April 2015, namun rencana tersebut mundur karena alasan tertentu. "Mudah-mudahan kali ini tidak gagal lagi," ujar Irawan.

Skema pengenaan PPN tol 10 persen untuk kendaraan pribadi golongan I ini rencananya bertepatan dengan kenaikan tarif jalan tol di beberapa ruas yang terjadi setiap dua tahun sekali. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan. "Skemanya tetap per ruas supaya tidak seolah-olah naik dua kali," cetusnya. (Gdn/Zul)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya