Pembentukan Holding BUMN Energi Mesti Punya Payung Hukum

Pembentukan holding energi juga diharapkan dapat memenuhi target bauran energi pada 2025.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 04 Jun 2016, 20:40 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2016, 20:40 WIB
20160330- Progres Pembangun PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso-Sulut-Faizal fanani
Tiang pemancang terpasang di pembangunan PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso, Sulut, Rabu (30/3). PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus mengembangkan energi yang berfokus pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pembentukan holding energi dinilai tidak sebatas pada pencaplokan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) oleh PT Pertamina (Persero) ‎saja, tetapi juga perusahaan yang bergerak pada sektor energi lainnya.

Kepala Departemen Ristek Energi dan Sumber Daya Mineral Majelis Nasional KAHMI Lukman Manulang mengatakan, gagasan holding dari pemerintah saat ini seharusnya tidak sebatas penggabungan PT PGN dengan PT Pertamina Gas (Pertagas) saja, dan aksi korporasi sesaat.

Namun harus didedikasikan dan mencakup yang lebih luas terdiri dari beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor energi.

"Holding energi yang mungkin bernama PT Indonesia Energi di masa mendatang membawahi Pertamina yang fokus ke minyak, PGN fokusi ke gas, PT Bukit Asam fokus ke batu bara. PLN fokus ke listrik, Geo Dipa fokus ke panas bumi, dan adanya perusahaan khusus yang fokus membidangi energi baru terbarukan," kata Lukman, di Jakarta, Sabtu (4/6/2016).


Lukman melanjutkan, pembentukan holding energi  tidak hanya untuk konsolidasi aset, pendapatan dan keuntungan dalam jangka pendek namun harus diproyeksikan untuk menjawab target tercapainya bauran energi minimal untuk 2025.

Salah satunya untuk energi baru dan terbarukan paling sedikit sebesar 23 persen, minyak bumi 25 persen, batu bara  minimal 30 persen dan gas bumi minimal 22 persen yang memerlukan upaya optimal agar bisa tercapai sesuai target sebagaimana target yang tertuang dalam kebijakan energi nasional dalam jangka panjang.

Ia menuturkan, perlu pengkajian secara mendalam dan komprehensif, tidak terburu-buru, sehingga mengedepankan prinsip kehatian-hatian (the precautionary principle).  Hal ini agar jangan sampai holding energi menyuburkan perilaku pemburu rente (rent seeker behavior), penumpang gelap (free rider) serta ada pihak yang diuntungkan (rent seizing) dari segilintir orang dan golongan.

Untuk itu prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas harus pula dikedepankan  sehingga holding energi bisa diawasi dan dikontrol oleh seluruh pemangku kepentingan.

"Sikap terburu buru dalam pembentukan holding energi atau migas ini menunjukkan pemerintah tidak punya roadmap dalam mengembangkan sektor energi," tutur Lukman.

Lukman menuturkan, holding energi harus mempunyai payung hukum yang kuat dan jelas, seperti  dalam Undang-Undang BUMN (UU BUMN) dan UU Migas.

Terkait UU Migas, saat ini Komisi VII DRP RI sedang intensif membahas Rancangan UU Migas yang merupakan program legislasi nasional prioritas tahun 2016.

Salah satu isinya merencanakan pembentukan perusahaan minyak dan gas bumi negara (holding) langsung di bawah Presiden sehingga Peraturan Pemerintah yang ditargetkan terbit satu bulan ke depan.

"Tidaklah elok Peraturan Pemerintah yang akan terbit bertentangan atau mendahului RUU Migas yang sedang dalam proses pembahasan di DPR RI," tutur Lukman. (Pew/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya