Liputan6.com, Jakarta - Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang aturan baru soal pemberian tunjangan hari raya (THR). Dalam aturan baru tersebut, pemerintah mewajibkan pengusaha juga memberikan THRÂ kepada karyawan yang baru memiliki masa kerja satu bulan.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mande mengatakan, aturan baru tersebut memberatkan para pelaku usaha, terutama pengusaha yang memiliki tenaga kerja yang banyak. Pasalnya, kewajiban untuk membayar THR ini menambah biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha ritel.
"Aturan itu membebani pelaku usaha ritel. Dampaknya nanti ke cost kami, semua kan diperhitungkan termasuk dengan penjualannya. Ini policy yang tidak menguntungkan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (20/6/2016).
Advertisement
Baca Juga
Roy mengungkapkan, saat ini jumlah tenaga kerja langsung di bisnis ritel mencapai 4,5 juta orang. Jumlah ini belum termasuk pekerja yang terlibat dalam rantai bisnis ritel seperti di lini distribusi.
"Penyerapan tenaga kerja langsung 4,5 juta tenaga kerja, itu dari 200 ritel yang anggota kita dengan 35 ribu toko‎. Kalau termasuk supplier, distribusi, sudah 14 juta tenaga kerja total. Jadi di sektor perdagangan ini besar‎. Kalau cuma satu toko mungkin tidak terlalu berat, tetapi kalau sudah ribuan toko dan minimarket berasa sekali‎," kata dia.
Selain itu, ujar Roy, selama ini pengusaha ritel juga telah terbebani dengan tingginya upah minimum sektor provinsi (UMSP). Sebagai contoh, UMSP DKI Jakarta untuk sektor ritel ditetapkan sebesar Rp 3,3 juta atau lebih tinggi dari upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebesar Rp 3,1 juta.
‎"UMSP kita kan di atas UMP. UMSP kita (ritel) Rp 3,3 juta, lebih besar 6-7 persen‎ dari UMP yang Rp 3,1 juta‎. UMSP itu ditentukan oleh Gubernur. Salah satunya di bisnis ritel karena dianggap usaha padat modal, bukan padat karya. Sama seperti restoran dan kafe. Jadi menentukan gaji minimum sesuai sektor," jelas dia.
Selain itu, dengan adanya tambahan beban ini juga dinilai membuat pengusaha ritel berpikir ulang untuk melakukan ekspansi bisnis. "Itu saja tidak menarik bagi peritel. Karena semangat peritel kan ekspansi, buka store, jadi tenaga kerja pasti terus terserap. Kalau ada beban itu jadi menghambat kita untuk ekspansi," tandas dia.
Untuk diketahui, ketetapan buruh yang baru bekerja satu bulan dapat THR diatur dalam aturan terbaru yang diterbitkan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR). Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Aturan ini diundangkan mulai 8 Maret 2016.
Aturan ini secara resmi menggantikan Permenaker Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dengan ada aturan ini, pekerja dengan masa kerja satu bulan berhak mendapatkan THR.
"Dalam peraturan baru, pekerja dengan masa kerja minimal satu bulan kini berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) yang besarannya dihitung secara proporsional sesuai dengan masa kerja," ujar Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Hanif mengatakan sebelumnya dalam Permenaker 4/1994 dinyatakan pembagian THR diberikan kepada pekerja dengan masa kerja minimal tiga bulan. Namun berdasarkan Permenaker Nomor 6/2016, pekerja yang baru bekerja dengan masa kerja minimal satu bulan berhak mendapatkan THR.
Menurut peraturan yang lama, ketentuan besarnya THR berdasarkan peraturan THR Keagamaan tersebut adalah bagi pekerja dan buruh yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih maka mendapat THR sebesar satu bulan upah.
Selain itu, disebutkan pula setiap pekerja dan buruh yang telah mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus-menerus atau lebih maka berhak mendapatkan THR secara proporsional.