Pertamina Targetkan Rasio Cadangan Migas Tumbuh 400% per Tahun

PT Pertamina (Persero), menargetkan memiliki rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) tumbuh 200 sampai 400 persen/tahun

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 18 Agu 2016, 15:47 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2016, 15:47 WIB
Ramai PHK Pekerja Migas
Imbas turunnya harga minyak dunia ternyata mengguncang perusahaan-perusahaan besar migas di dunia.

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero), menargetkan memiliki rasio cadangan migas atau reserve replacement ratio (RRR) tumbuh 200 sampai 400 persen per tahun. Rasio tersebut dapat memenuhi kebutuhan energi nasional.

Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina Bambang Manumayoso, mengatakan berbagai upaya dilakukan Pertamina, tidak hanya untuk bertahan saat ini, namun juga bagaimana tetap bisa tumbuh ke depannya. Hal ini dilakukan karena Pertamina merupakan kepanjangan tangan pemerintah yang harus mengamankan energi nasional.

“Pertamina yang menurut undang-undang, satu-satunya yang harus menjaga ketahanan energi nasional, baik migas maupun geothermal,” kata Bambang dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (18/8/2016).

Menurut Bambang, upaya yang dilakukan Pertamina saat ini adalah menahan penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tepat guna. Selain itu, Pertamina juga harus terus melakukan eksplorasi untuk menggantikan maupun menambah cadangan yang sudah diproduksikan.

"Strategi hulu Pertamina yaitu bagaimana caranya produksi dan reserve replacement ratio (RRR) migas harus bisa naik, sehingga reserves yang sudah diproduksikan dapat digantikan dengan reserves baru yang lebih tinggi,” tutur Bambang.

Pertamina memproyeksikan pertumbuhan produksi migas 8 persen per tahun sepanjang 2015 sampai 2030. Pada periode 2010 sampai 2015, produksi migas perseroan rata-rata tumbuh 6 persen per tahun dengan cadangan migas rata-rata meningkat 4,4 persen per tahun.

Bambang melanjutkan, kata kunci lain untuk bertahan terhadap dampak penurunan harga minyak adalah pada biaya produksi per barel. Jika pada Agustus 2014, harga minyak masih sekitar US$ 70 per barel, pada Februari 2016 harga anjlok hingga mencapai US$ 26 sampai US$ 27 per barel.

"Pertamina memiliki tantangan besar. Namun dengan berbagai upaya yang dilakukan Pertamina tetap bisa survive, meski keuntungan yang diperoleh juga menurun," kata dia.

Untuk itu, lanjut Bambang, yang dilakukan Pertamina adalah mengubah paradigma lama yang cenderung Production at any Cost menjadi Creating More Values (Production dan Value of Investment) dari semua asetnya.

Pertamina terus melakukan proses perluasan terhadap semua asetnya, dengan menggunakan clustering asset dan portofolio sehingga tampak aset mana yang dapat memberikan dampak nilai terbesar hingga terendah. Dari gradasi tersebut masing-masing aset akan dievaluasi berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan nilai positif bagi perusahaan.

Saat ini, paradigma bisnis model upstream baru Pertamina terus digencarkan. Secara operasional seperti, peningkatan kinerja baik dari sisi volume maupun value, optimasi investasi (Capex), melakukan aksi nyata untuk pertumbuhan (terutama Business Portfolio), implementasi Operasional Excellent pada setiap proyek-proyek berdampak besar bagi Pertamina, pembenahan berkelanjutan untuk proses bisnis dan pengembangan SDM.

Efisiensi dan rasionalisasi program juga terus dilakukan, dengan menurunkan biaya per barel. Jika dulu beberapa aset dengan operating cost di atas US$ 30 per barel, sekarang bisa ditekan di bawah US$ 20 per barel.

“Rata-rata sudah turun semua. Dari segitu banyak bisa kami turunkan. Jadi biaya-biaya operasional dikurangi,” tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya