Pertumbuhan Kredit 3 Negara Ini Masih Lebih Rendah dari RI

OJK memprediksi pertumbuhan kredit nasional sebesar 6 persen-8 persen hingga akhir 2016.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Okt 2016, 21:22 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2016, 21:22 WIB
20161024-Menkeu-jabarkan-hasil-rapat-KSSK-AY4
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad, Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI Agus Marto dan Ketua LPS Halim Alamsyah saat memberikan keterangan usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (24/10). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mencatat terjadinya penurunan pertumbuhan kredit dalam beberapa bulan terakhir ini di Indonesia.

Meski demikian, kondisi serupa dialami negara lain di ASEAN. Bahkan tiga negara yakni Malaysia, Thailand dan Singapura memiliki pertumbuhan kredit lebih rendah dari Indonesia.

Kondisi tersebut sejalan dengan pelemahan ekonomi dunia yang bukan hanya dialami industri perbankan nasional, tapi juga beberapa negara di kawasan Asia Tenggara.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menerangkan, pertumbuhan kredit di Agustus ini tumbuh 6,83 persen (yoy). Sementara prediksi pertumbuhan kredit diperkirakan 6 persen-8 persen hingga akhir 2016. Proyeksi ini lebih rendah dari tahun lalu.

Sementara dia menuturkan, pertumbuhan kredit dalam rupiah per Agustus mencapai 10,7 persen, sehingga diperkirakan masih ada ruang untuk meningkatkan pertumbuhan kredit lewat sektor pariwisata, kemaritiman, pangan, peternakan, dan sumber lainnya.

"Jadi di sisa waktu ini, kami berusaha mencari sumber-sumber pendorong intermediasi yang dilandasi prinsip bisnis yang sehat, manajemen risiko yang baik," kata Muliaman di Jakarta, Senin (24/10/2016).  

Sementara itu, Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, rendahnya pertumbuhan kredit pada periode Juli-September disebabkan karena dampak dari pelemahan ekonomi dunia.

Bahkan katanya, pertumbuhan kredit secara year to date diperkirakan hanya 2,2 persen sehingga perbankan mulai hati-hati dalam penyaluran kredit lantaran kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) meningkat.

"Menurunnya pertumbuhan kredit sejalan dengan pelemahan ekonomi dunia yang berdampak ke ekonomi nasional. Sehingga permintaan atas kredit jadi turun, tapi yang valuta asing, sedangkan kredit rupiah meningkat," jelas Agus.

Pertumbuhan kredit yang rendah, sambung Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) ini masih lebih baik dari negara tetangga lain di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

"Di ASEAN, pertumbuhan kredit yang tinggi dicapai Filipina, sementara Malaysia, Singapura, dan Thailand pertumbuhan kreditnya lebih rendah dari kita," ucap Agus.

Namun secara keseluruhan, ditegaskan Agus, indikator ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, diantaranya inflasi rendah atau diprediksi di bawah target 4 plus minus 1 persen atau mendekati 3 persen.  

"Transaksi berjalan di bawah 2 persen dari PDB di kuartal III atau akhir tahun ini. Nilai tukar rupiah menguat, bahkan sepanjang tahun ini penguatan kurs 5 persen-6 persen," paparnya.

Namun demikian, Agus mengatakan, Indonesia harus mewaspadai risiko yang muncul dari beberapa faktor global. Antara lain, pertama, prediksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) direvisi lebih rendah dari rencana awal, selain ekonomi China. Kedua, rencana akan ada kenaikan Fed Fund Rate (FFR) satu kali di 2016.

"Kita juga waspadai volume neraca perdagangan dunia yang turun tajam. Ini karena banyak negara melakukan proteksi karena mulai memperhatikan dalam negerinya, seperti China yang sudah tidak terlalu berorientasi pada ekspor tapi mau meningkatkan ekonomi domestiknya," tandas Agus.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya