Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen mendorong pembiayaan di sektor pertanian, tidak hanya di area hilir tetapi juga di hulu. Harapannya, ini dapat menciptakan pekerjaan, menyejahterakan petani dan menambah produktivitas pertanian.
Ini diungkapkan Deputi Komisioner Manajemen Strategis 1B OJK Slamet Edy Purnomo di Bandung pada acara diskusi Redaktur Media Massa Program AKSI Pangan OJK, di Bandung, Minggu (22/1/2017).
Dia mengatakan, selama ini pembiayaan sektor pangan masuk prioritas meski pada kenyataannya besaran atau kompisisi yang diberikan masih belasan persen.
Adapun pada posisi November 2016, jumlah penyaluran kredit di sektor pangan sebesar Rp 638,4 triliun atau sekitar 14,90 persen dari total kredit perbankan sebesar Rp 4.285 triliun.
Sementara nonperforming loan (NPL) alias kredit bermasalah di sektor pangan mencapai 3,32 persen dari nilai total Rp 638,3 triliun. "Angka tersebut lebih tinggi daripada NPL nasional sebesar 3,18%," kata Slamet.
Terkait pembiayaan inilah, OJK akan meluncurkan Program Akselerasi Keuangan Sinergi dan Iklusi Pangan (Aksi Pangan).
Ini merupakan program inisiatif PJK dan Kementerian Pertanian bersinergo bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Koperasi dan UKM, Asosiasi dan Industri Jasa Keuangan.
"Ada 3 fokus utama dalam program Aksi Pangan yakni peran industri jasa keuangan, skema pembiayaan rantai nilai dan peran inovasi pangan melalui Fintecg atau e-commerce," jelas dia.
Rencananya Aksi pangan diluncurkan OJK pada 30 Januari 2017, di Payakumbuh, Padang, Sumatera Barat untuk mendukung program nawacita pemerintah. "Peluncuran dilakukan di luar Jawa agar tidak terjadi Jawa sentris sehingga luar Jawa bergairah," tandas dia.
Dia menambahkan, pada 2019 pemerintah menargetkan keuangan inklusif atau akses pelayanan keuangan di sektor pertanian bisa ditingkatkan dari 36 persen di 2014 menjadi 75 persen di 2019.