Liputan6.com, New York - Harga minyak melemah lima persen ke level terendah pada 2017. Pasokan minyak Amerika Serikat (AS) yang melonjak melebihi dari yang diharapkan menekan harga minyak.
Pasokan minyak berlebih itu terjadi saat negara produsen minyak tergabung dalam OPEC berusaha dongkrak harga dengan memangkas produksi.
Pasokan minyak AS telah naik sepanjang 2017. Berdasarkan data US Energy Information Administration menunjukkan kalau pasokan minyak naik 8,2 juta barel pada pekan lalu.
Analis dan trader menilai, penurunan harga minyak cukup tajam ini memberi sinyal tren negatif jika spekulator mulai ambil posisi untuk harga minyak. Analis teknikal melihat, jika aksi jual terjadi dapat mendorong harga minyak sentuh di bawah level support.
Baca Juga
"Ini kombinasi dari aksi spekulasi yang panjang dan pasokan, ditambah pertumbuhan signifikan untuk produksi minyak AS," ujar Senior Partner Commodity Research Group Andrew Lebow seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (9/3/2017).
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 2,86 atau 5,38 persen menjadi US$ 50,28 per barel, ini level terendah sejak 15 Desember. Harga minyak Brent jatuh ke level terendah sejak 8 Desember ke level US$ 52,93. Akhirnya ke level US$ 53,11 atau melemah US$ 2,81 atau 5,03 persen.
Analis teknikal ICAP Brian LaRose menuturkan, sentimen pasokan minyak telah mempengaruhi harga. Saat ini secara teknikal pergerakan harga minyak mencoba lewati level US$ 55-US$ 56 untuk harga minyak jenis WTI. Namun hal itu gagal.
"Ini butuh katalis untuk mendukung fundamental pergerakan harga minyak," tutur dia.
LaRose menilai, level support harga minyak untuk WTI yang sedang diuji di level US$ 50-US$ 51. Bila itu tembus maka harga minyak dapat berada di kisaran US$ 47-US$ 48.
Selain itu, ada harapan kenaikan suku bunga bank sentral AS juga menekan harga minyak. Ada harapan kenaikan suku bunga itu mendorong indeks dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang.
Advertisement