Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memperkirakan perekonomian Indonesia pada kuartal-I tahun ini tumbuh lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal tersebut ditopang oleh permintaan domestik khususnya investasi sehingga proyeksinya ekonomi nasional bisa tumbuh pada kisaran 5,1-5,5 persen di 2018.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan investasi menunjukkan peningkatan, baik pada investasi bangunan maupun non-bangunan.
Advertisement
Baca Juga
"Investasi bangunan meningkat sejalan dengan kemajuan proyek infrastruktur oleh pemerintah dan swasta. Sementara itu, peningkatan investasi non-bangunan terutama terjadi pada sektor primer, khususnya pertambangan," kata Dody di kantornya, Kamis (19/4/2018).
Dody mengungkapkan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia pada kuartal I-2018 menunjukkan adanya peningkatan kegiatan dunia usaha. Diikuti oleh membaiknya kinerja korporasi non-keuangan di berbagai sektor.
"Demikian juga konsumsi swasta diperkirakan meningkat didukung oleh penguatan daya beli, seiring dengan perbaikan pendapatan dan akselerasi penyaluran bantuan sosial, serta peningkatan pengeluaran terkait Pilkada serentak," ujarnya.
Sementara itu, dia menambahkan, ekspor tumbuh positif terutama bersumber dari ekspor komoditas pertambangan dan produk manufaktur yang membaik.
"Impor juga diprakirakan meningkat khususnya barang modal dan bahan baku. Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan 2018, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,1-5,5 persen (yoy)," ujarnya.
Reporter : Yayu Agustini Rahayu Achmud
Sumber : Merdeka.com
Neraca Perdagangan RI
Dody mengungkapkan, untuk neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2018 mencatat surplus didukung perbaikan ekspor nonmigas.
"Pada Maret 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 1,09 miliar dolar AS, setelah pada Februari 2018 mengalami defisit 0,05 miliar dolar AS. Surplus tersebut didorong oleh peningkatan surplus neraca perdagangan non-migas yang melampaui peningkatan defisit neraca perdagangan migas," ujarnya.
Peningkatan surplus neraca perdagangan non-migas ditopang kinerja ekspor yang tumbuh 8,2 persen (yoy), terutama berasal dari ekspor komoditas tambang seperti batu bara, maupun ekspor produk manufaktur seperti barang dari logam tidak mulia, tekstil dan produk tekstil, makanan olahan, alas kaki, serta mesin dan mekanik.
Sementara itu, impor non-migas tumbuh 11,1 persen (yoy) terutama didorong oleh pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku. Secara kumulatif Januari-Maret 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 0,28 miliar dolar AS.
"Investasi portofolio asing dalam bentuk saham dan SBN yang sempat mencatat aliran keluar selama kuartal I ini, pada dua minggu pertama April telah kembali masuk. Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 tercatat sebesar 126 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," jelas Dody.
Angka tersebut, lanjutnya, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Ke depan, sejalan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi domestik, defisit transaksi berjalan pada 2018 diperkirakan dalam kisaran 2,0-2,5 persen dari PDB, atau masih tetap terkendali dalam batas yang aman yaitu tidak lebih dari 3,0 persen dari PDB," tuturnya.
Advertisement
Penuh Risiko
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2018 akan semakin kuat. Namun banyak risiko yang harus dicermati.
Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi global bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang terus berlanjut.
"Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 diperkirakan lebih tinggi dan diikuti inflasi yang meningkat. Penguatan ekonomi AS ditopang oleh investasi dan konsumsi yang menguat seiring dampak stimulus fiskal," kata Dody.
Sementara itu, lanjutnya, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh lebih baik didukung peningkatan konsumsi dan kebijakan moneter yang akomodatif.
"Di negara berkembang, ekonomi Tiongkok diperkirakan tetap tumbuh cukup tinggi didorong oleh kenaikan konsumsi, di tengah investasi yang melambat seiring dengan proses rebalancing ekonomi," ujar Dody.
Prospek pemulihan ekonomi global yang membaik tersebut dinilai akan meningkatkan volume perdagangan dunia yang berdampak pada tetap kuatnya harga komoditas global, termasuk harga minyak pada 2018.
"Namun, sejumlah risiko perekonomian global tetap perlu diwaspadai, antara lain berkaitan dengan dampak berlanjutnya proses normalisasi kebijakan moneter AS dalam bentuk kenaikan suku bunga FFR dan pengurangan neraca bank sentral, inward oriented trade policy, dan faktor geopolitik khususnya di Timur Tengah yang dapat meningkatkan volatilitas di pasar keuangan serta menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia," papar Dody.