Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah hingga ke level 14.000.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, depresiasi mata uang tidak hanya terjadi pada Indonesia, tetapi negara lain juga mengalami kondisi serupa.
"Tapi apa pun ini memang semua negara mengalami," kata dia di Rokan Hilir, Riau, Rabu (9/5/2018).
Advertisement
Baca Juga
Jokowi menjelaskan, semua negara mengalami depresiasi mata uang karena beberapa faktor. Salah satunya, terjadinya perang dagang (trade war) antara Amerika dan China.
"Yang pertama karena adanya perang dagang, isu perang dagang, perang negara besar," kata Jokowi.
Faktor penyebab lain dipicu klaim Amerika jika ekonominya membaik sehingga terus menaikkan suku bunga acuan. Hal itu memicu mata uang negara lain terdepresiasi.
"Kenaikan suku bunga AS yang mereka mungkin ada tiga atau empat kali, semua negara ini mengalami hal yang sama," dia menambahkan.
Jokowi memastikan selalu berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) mengenai kondisi rupiah. "Koordinasi terus, bahkan sebelum berangkat ke sini pun koordinasi," ungkap Jokowi.
Kendati demikian, Jokowi menyatakan ada pihak yang diuntungkan saat rupiah melemah, yaitu para eksportir.
"Kalau ekspor kan senang kalau tanya ini eksportir ini ya senang, semuanya hampir senang," dia menandaskan.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Tonton Video Ini:
Pelemahan Rupiah Jelang Ramadan Bikin Pengusaha Dilema
Pelemahan nilai tukar rupiah jelang Ramadan membuat pelaku industri makanan dan minuman dilema. Pasalnya, pelemahan ini membuat biaya produksi naik, sehingga berimbas pada harga jual produk.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menyatakan, selama ini bahan baku industri makanan dan minuman masih harus bergantung pada impor.
Baca Juga
Contohnya, tepung terigu sebanyak 7 juta ton per tahun atau 100 persen, gula 3,5 juta ton atau 100 persen, garam 550 ribu ton atau 70 persen, susu 2 juta ton atau 70 persen.
"Itu beberapa contoh bahan baku yang masih diimpor," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Dengan rupiah yang melemah, kata dia, otomatis industri harus membeli bahan baku impor dengan harga yang lebih mahal. Hal ini menjadi beban tambahan bagi biaya produksi dan berdampak pada kenaikan harga jual produk.
"Kurs ini naik sekitar 5 persen, yang otomatis akan menaikkan biaya produksi," kata dia.
Namun, jelang Ramadan dan Lebaran, sulit bagi para pengusaha untuk menaikkan harga jual produknya. Sebab, kenaikan tersebut bisa memacu inflasi di bulan puasa lebih tinggi lagi.
"Sulit menaikkan harga menjelang Ramadan dan Lebaran. Dilema. Sampai sekarang kita akan bertahan karena persiapan puasa-Lebaran sulit menaikkan harga," dia menjelaskan.
Oleh sebab itu, jalan satu-satunya yang ditempuh pengusaha, yaitu dengan memaksimalkan stok bahan baku yang ada. Adhi berharap stok ini mencukupi hingga Lebaran, sehingga pengusaha makanan dan minuman tidak perlu menaikkan harga produknya hingga hari raya tersebut.
"Sementara akan memaksimalkan stok bahan baku lama yang biasanya ada sekitar 1 bulan. Dan stok produksi jadi juga sekitar 1 bulan. (Industri) Masih bertahan sampai Lebaran. Kita memanfaatkan stok bahan baku dan barang jadi yang ada," tutur dia.
Advertisement